PARIWARA

Your Ad Here

Minggu, Desember 12, 2010

Good Governance

UNDP mendefinisikan good governance sebagai “the exercise of political, economic and social resources for development of society“ penekanan utama dari definisi di atas adalah pada aspek ekonomi, politik dan administratif dalam pengelolaan negara. Pendapat ahli yang lain mengatakan good dalam good governance mengandung dua pengertian sebagai berikut. Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. 

Berdasarkan pengertian ini, good governance berorientasi pada :
  1. Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti : legitimacy (apakah pemerintah) dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control.
  2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien. (Sedarmayanti, 2003:6)

Menurut UNDP karakteristik pelaksanaan good governance meliputi (Mardiasmo,2004:18) :
  1. Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta partisipasi secara konstruktif.
  2. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
  3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan public secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
  4. Responsiveness. Lembaga – lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholders.
  5. Consensus of orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
  6. Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
  7. Efficiency and effectiveness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
  8. Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan
  9. Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan
Sumber : Icuk Rangga Bawono. 2005. Manajemen Strategik Sektor Publik : Langkah Tepat Menuju Good Governance. Dosen Fakultas Ekonomi UNSOED Purwokerto
Baca Selengkapnya....

Rabu, September 22, 2010

Selamat Hari Raya Idul Fitri

1 Syawal 1413 H, Minal Aidin wal Faidin, Mohon Maaf Lahir dan Batin Baca Selengkapnya....

Selasa, Agustus 31, 2010

KEADILAN KOMPENSASI

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa karyawan yang mempunyai keterampilan lebih tinggi, akan menuntut kompensasi yang lebih tinggi pula. Namun yang menjadi persoalan adalah kompensasi yang bagaimana yang harus diberikan, sehingga karyawan yang mempunyai keterampilan tinggi merasa lebih dihargai daripada yang mempunyai keterampilan lebih rendah.

Konsep keadilan mengacu pada berapa kompensasi yang diyakini karyawan pantas ia dapatkan dalam hubungannya dengan berapa kompensasi yang pantas didapatkan oleh orang lain. Seorang karyawan cenderung menentukan berapa besar kompensasi yang pantas diperolehnya atau yang orang lain peroleh dengan membandingkan antara yang telah mereka berikan kepada perusahaan dan apa yang telah mereka dapatkan dari perusahaan. Jika menurut mereka tukar menukar ini adil atau sebanding, mereka mungkin akan merasa puas. Namun jika mereka menganggapnya tidak adil, mereka mungkin akan merasa tidak puas (Schuler dan Jackson, 1999).

Sedangkan menurut Siagian (1995), mengenai keadilan dapat dinilai dari tiga faktor pembanding, yaitu diri sendiri, sistem yang berlaku dan orang lain. Memang menggunakan diri sendiri sebagai faktor pembanding merupakan cara yang subyektif, karena tujuan, harapan, cita-cita dan persepsi sendiri tentang berbagai jenis kebutuhanlah yang menjadi kriteria. Meskipun demikian, pimpinan perusahaan perlu juga mempertimbangkan persepsi seorang karyawan mengenai dirinya sendiri, karena kemungkinan persepsi karyawan tentang dirinya sendiri mengandung suatu kebenaran juga.

Persepsi tentang keadilan juga dibandingkan dengan sistem pemberian kompensasi yang berlaku, yang dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, sistem yang berlaku dalam perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja. Mengenai sistem yang berlaku dalam perusahaan, biasanya karyawan ingin mengetahui apakah sistem pemberian kompensasi yang berlaku sudah didasarkan pada kewajaran, sudah dikaitkan dengan beratnya tanggung jawab, sifat pekerjaan, pendapat pekerja dan kemampuan organisasi yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kewajaran ialah besarnya kompensasi yang memungkinkan karyawan hidup secara manusiawi sesuai dengan harkat, martabat dan tingkatan masing-masing. Sebagaimana diketahui, bahwa UMR (upah minimum regional) juga disusun berdasarkan pada pertimbangan kewajaran ini, sehingga dengan adanya kompensasi sebesar UMR diharapkan para karyawan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara wajar, tidak berlebih, namun juga tidak kekurangan.

Kaitan dengan beratnya tanggung jawab karyawan, juga sangat penting untuk mendapatkan perhatian. Adalah suatu hal yang wajar apabila seorang karyawan yang dibebani tanggung jawab besar memperoleh kompensasi yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan lain yang tanggung jawabnya lebih ringan.

Dalam kaitannya dengan sifat pekerjaan, maka karyawan yang mengerjakan pekerjaan yang sifatnya rutin, kiranya wajar apabila mendapatkan kompensasi yang lebih rendah dibandingkan karyawan yang membutuhkan daya kognitif, kemampuan intelektual, daya nalar, inovasi serta kreativitas yang tinggi dalam menyelesaikan pekerjaannya. Demikian pula dengan karyawan yang melakukan pekerjaan dengan tingkat risiko yang tinggi tentunya akan mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi pula dibandingkan karyawan yang melakukan pekerjaan dengan risiko rendah, misalnya untuk karyawan yang bekerja di perusahaan penambangan, atau di laboratorium nuklir.

Berkaitan dengan pendapat pekerja, biasanya dalam praktek manajemen yang baik, untuk menentukan sistem kompensasi pimpinan perusahaan mendengar pendapat para pekerja yang terdapat di dalam perusahaannya, yang biasanya disampaikan oleh para wakilnya yang duduk dalam pengurus serikat pekerja. Walaupun pimpinan suatu perusahaan tidak selalu menerima dan menerapkan pendapat para pekerja tersebut, namun secara psikologis hal tersebut sangat penting bagi karyawan. Karyawan merasa pendapatnya dihargai dan bagi pimpinan perusahaan akan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan para karyawannya dengan lebih tepat. Sebaliknya, pada kesempatan itu pula pihak pimpinan perusahaan akan lebih mudah menjelaskan posisi perusahaan pada saat tersebut, terutama yang menyangkut posisi finansialnya.

Berkaitan dengan kemampuan organisasi, bukan hal yang mustahil jika para karyawan mempunyai persepsi yang tidak tepat mengenai kemampuan finansial perusahaan. Misalnya karyawan menilai bahwa perusahaan sebenarnya mampu untuk memberikan peningkatan kompensasi yang lebih besar lagi kepada para karyawan, karena keuntungan yang diperoleh selama ini cukup besar untuk hal tersebut. Para karyawan tentunya beranggapan, bahwa keuntungan yang besar tersebut juga merupakan hasil jerih payah mereka juga, sehingga wajar apabila menuntut diberikan peningkatan kompensasi yang lebih besar lagi. Namun demikian, bisa saja pihak perusahaan mempunyai suatu rencana untuk melakukan ekspansi atau melakukan modernisasi dengan melakukan pembelian peralatan baru, sehingga tidak semua keuntungan dibagikan kepada para karyawannya. Perbedaan persepsi tersebut perlu dihilangkan, dan salah satu upaya untuk menghilangkannya adalah dengan memberikan penjelasan kepada para karyawan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada kenyataannya, kondisi ini sangat sulit diterapkan pada perusahaan-perusahaan di sini, hal ini disebabkan karena pihak perusahaan tidak transparan dalam memberikan penjelasan mengenai kemampuan finansialnya kepada karyawan, sebaliknya pihak karyawan terkadang terlalu menuntut dan memaksakan kehendaknya karena tidak mempercayai penjelasan pimpinan maupun pemilik perusahaan.

Kedua, sistem yang berlaku pada perusahaan lain yang sejenis. Dengan menggunakan sistem yang berlaku sebagai kerangka acuan, karyawan biasanya juga membandingkan sistem pembayaran kompensasi tempat ia bekerja dengan sistem yang berlaku di perusahaan lain di kawasan yang sama, terutama dengan perusahaan yang menjalankan kegiatan bisnis sejenis. Apabila menurut persepsi karyawan sistem yang berlaku di perusahaan tempat ia bekerja sebanding dengan sistem yang berlaku di perusahaan lain yang sejenis, sangat dimungkinkan karyawan merasa puas; demikian pula apabila yang terjadi sebaliknya.

Ketiga, sistem yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, biasanya pemerintah telah menetapkan standar. Para karyawan menggunakan standar tersebut sebagai pembanding untuk melihat apakah perusahaan tempat mereka bekerja telah melaksanakan ketentuan tersebut, misalnya peraturan mengenai upah minimum regional (UMR).

Selain itu, seorang karyawan juga membandingkan kompensasi yang diterimanya dengan yang diterima karyawan lain. Mereka berpendapat, bahwa secara obyektif seharusnya semua karyawan yang berada pada tingkat yang sama dengan pekerjaan yang sama akan mendapatkan kompensasi yang besarnya sama pula. Apabila ternyata terjadi perbedaan, karena adanya pertimbangan subyektif maupun diskriminatif, maka karyawan akan merasa tidak puas.
Baca Selengkapnya....

Selasa, Agustus 24, 2010

Hubungan Kompensasi dengan Peningkatan Kinerja Karyawan

Berbicara tentang kebijakan pemberian kompensasi, umumnya hanya tertuju pada jumlah yang dibayarkan kepada karyawan. Apabila jumlah kompensasi telah cukup memadai, berarti sudah cukup layak dan baik. Permasalahannya sebenarnya tidak sesederhana itu, sebab cukup memadai menurut kacamata perusahaan, belum tentu dirasakan cukup oleh karyawan yang bersangkutan. Menurut Nitisemito (1996) pengaruh kompensasi terhadap karyawan sangatlah besar. Semangat kerja yang tinggi, keresahan dan loyalitas karyawan banyak dipengaruhi oleh besarnya kompensasi. Pada umumnya, pemogokan kerja yang sering terjadi di negara kita ini, sebagian besar disebabkan karena masalah upah.


Pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan, sebenarnya dalam kondisi tertentu dapat meningkatkan kinerja karyawan, disamping dapat pula membuat karyawan frustasi. Bagi karyawan yang memang memiliki keterampilan yang dapat diandalkan, maka pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan akan dapat meningkatkan kinerja, sebaliknya bagi karyawan yang tidak memiliki keterampilan dan tidak mempunyai kemampuan untuk meningkatkan keterampilannya, maka sistem pemberian kompensasi ini dapat mengakibatkan frustasi.

Dikaitkan dengan teori pengharapan, maka pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan akan memotivasi karyawan, sebab dalam teori pengharapan dikatakan bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerahkan usahanya dengan lebih baik lagi apabila karyawan merasa yakin, bahwa usahanya akan menghasilkan penilaian prestasi yang baik. Penilaian yang baik akan diwujudkan dengan penghargaan dari perusahaan seperti pemberian bonus, peningkatan gaji atau promosi dan penghargaan itu dapat memuaskan karyawan.

Jadi dalam teori pengharapan terdapat tiga hubungan, yaitu hubungan antara usaha dengan prestasi, hubungan prestasi dengan penghargaan perusahaan dan hubungan antara penghargaan perusahaan dengan tujuan karyawan. Apabila penghargaan yang diberikan oleh perusahaan sesuai dengan pengharapan dan dapat memuaskan kebutuhannya, maka karyawan tersebut akan termotivasi untuk lebih meningkatkan usaha/kinerjanya, sebaliknya apabila usaha yang dilakukan tidak mendapat penghargaan sesuai dengan harapan karyawan, maka karyawan yang bersangkutan akan merasa frustasi, sehingga tidak termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya.

Menurut Robbins (2001), kompensasi berdasarkan keterampilan adalah sesuai dengan teori ERG (Existence, Relatedness and Growth theory) dari Alderfer, sebab system pembayaran ini dapat mendorong karyawan untuk belajar, meningkatkan keterampilannya dan memelihara keterampilannya. Hal ini dapat diartikan, bahwa bagi karyawan yang ingin memenuhi kebutuhannya dengan lebih baik, maka pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan akan menjadi pendorong baginya untuk lebih meningkatkan keterampilan, agar memperoleh kompensasi yang lebih tinggi, sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi.

Dikaitkan dengan teori kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement theory), pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan juga sesuai, sebab sistem pembayaran kompensasi ini dapat akan mendorong karyawan untuk bekerja lebih efisien, mau mempelajari keterampilan yang baru atau berusaha meningkatkan keterampilannya, sehingga siap menghadapi tantangan baru. Hal ini cukup jelas, sebab mempelajari keterampilan baru merupakan tantangan tersendiri bagi seseorang yang ingin maju. Apabila tantangan ini dapat dilampaui, maka akan timbul rasa bangga bagi yang bersangkutan, kebanggaan bukan hanya karena prestasi yang meningkat, namun karena penghargaan yang diterima juga meningkat dan memuaskan bagi dirinya.

Dalam kaitannya dengan teori penguatan (reinforcement theory), pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan akan mendorong karyawan untuk belajar secara kontinyu, mengembangkan keterampilannya, dan dapat bekerja sama dengan anggota lain dalam perusahaan. Semakin berkembang keterampilan yang dimiliki, maka akan semakin besar pula kompensasi yang akan diterimanya.

Sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan juga sesuai dengan teori keadilan (equity theory) yang membandingkan antara prestasi yang dicapai dengan kompensasi atau penghargaan yang diberikan oleh perusahaan. Apabila prestasi karyawan sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh perusahaan, maka motivasi karyawan untuk meningkatkan kinerjanya dapat dioptimalkan. Jadi dengan kata lain, bila kompensasi yang diberikan sesuai dengan keadilan dan harapan karyawan, maka karyawan akan merasa puas dan termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya.

Pada kenyataannya, sebagian besar perusahaan yang ada disini masih kurang menghargai keterampilan dan kemampuan seseorang, sehingga sering dijumpai pemberian kompensasi didasarkan pada senioritas bukan pada kemampuan seorang karyawan untuk mengembangkan keterampilan yang dimilikinya. Kondisi ini dapat mengakibatkan karyawan menjadi apatis dan tidak termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, sebab peningkatan keterampilan tidak diimbangi dengan peningkatan kompensasi. Sebaliknya, kompensasi akan naik dengan sendirinya tanpa perlu meningkatkan keterampilan. Hanya waktu yang dapat meningkatkan besarnya kompensasi, sehingga apabila kompensasi ditingkatkan, karyawan hanya termotivasi untuk sementara waktu, setelah itu kinerjanya akan kembali seperti semula. Hal ini merupakan salah satu sebab yang mengakibatkan perusahaan sulit untuk meningkatkan produktivitas maupun kualitas produknya, sehingga sulit untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang kompetitif.

Agar karyawan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, sebaiknya perusahaan menggunakan keterampilan sebagai dasar perhitungan kompensasi. Kepada karyawan juga perlu dijelaskan bahwa kompensasi yang diberikan, dihitung berdasarkan keterampilan dan kemampuan mereka dalam mengembangkan keterampilannya untuk menunjang penyelesaian tugas yang dibebankan kepadanya. Sebagaimana dicontohkan di depan, apabila karyawan tata usaha mampu mengetik menggunakan mesin ketik manual maupun elektrik dengan hasil yang memuaskan, seharusnya dibayar lebih tinggi daripada yang hanya mampu menggunakan mesin ketik manual saja. Demikian pula bagi yang telah mampu mengoperasikan komputer dengan terampil, seharusnya dinilai lebih daripada yang lain.
Baca Selengkapnya....

Kamis, Agustus 19, 2010

KOMPENSASI BERDASARKAN KETERAMPILAN

Para akademisi dan konsultan menegaskan bahwa pembayaran kompensasi berdasarkan jabatan dapat dengan mudah disalahgunakan dan sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan pada dewasa ini. Menurut Bridges (1994), Murlis dan Fitt (1991) dalam Schuler dan Jackson (1999), pendekatan-pendekatan kompensasi berdasarkan jabatan yang konvensional: (1) mendukung organisasi hierarkis kaku yang menekan motivasi serta kreativitas karyawan, (2) beranggapan bahwa orang adalah komoditas yang dapat dibentuk untuk “cocok dengan” peran-peran yang telah ditentukan, (3) tidak cocok untuk organisasi yang lebih ramping saat ini, dimana tim-tim kecil dan fleksibel yang terdiri dari orang-orang dengan aneka keterampilan secara ekonomis lebih masuk akal daripada sejumlah individu dengan satu keterampilan, (4) tidak cocok dalam sektor jasa, dimana keberhasilan masa depan terletak pada pengetahuan yang dimiliki pekerja ketimbang jabatan yang diberikan kepada mereka.

Menurut Lawler (1983), alasan digunakannya keterampilan sebagai dasar perhitungan kompensasi adalah karena (a) karyawan yang berkemampuan tinggi atau yang mampu mengembangkan keterampilannya dapat menerima kompensasi yang lebih tinggi, walaupun jabatannya tetap. (b) nilai individu akan lebih tersorot daripada nilai pekerjaan yang dilakukannya. Karyawan yang memiliki kemampuan dan keterampilan tentu akan tertarik pada perusahaan yang memberikan kompensasi berdasarkan kemampuan dan keterampilan, sebab pada umumnya karyawan yang mempunyai keterampilan lebih, mengharapkan kompensasi yang lebih banyak pula.
Perusahaan yang ingin mempertahankan karyawan yang berprestasi baik, maka harus berani memberikan kompensasi yang lebih besar daripada karyawan yang tidak atau kurang berprestasi. Apabila perusahaan tidak melakukan hal ini, maka karyawan yang berprestasi baik, yang seharusnya dipertahankan oleh perusahaan, akan meninggalkan perusahaan. Mereka yakin akan bisa memperoleh kompensasi yang lebih baik di tempat lainnya atau di perusahaan lainnya. Hal ini berarti hanya karyawan yang tidak atau kurang berprestasi yang akan tetap bertahan di perusahaan, kondisi ini tentunya akan berdampak negatif bagi perusahaan.
Sudah sewajarnya apabila karyawan yang memiliki keterampilan dan pengetahuan lebih banyak adalah lebih bernilai dan harus dibayar menurut kemampuannya, bukan menurut tugas jabatan. Dalam job-based pay, maka besarnya kompensasi yang diterima oleh karyawan dikaitkan dengan jabatan atau pekerjaannya, tanpa memperhatikan apakah karyawan mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut secara efektif.
Dalam sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan, tingkat pembayaran kompensasi awal bagi semua karyawan adalah sama. Apabila terjadi peningkatan keterampilan, maka masing-masing keterampilan baru yang mereka miliki dihargai satu tingkat lebih tinggi. Jadi kompensasi hanya akan mengalami kenaikan setelah karyawan memperlihatkan kemampuannya dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan sistem kompensasi berdasarkan pekerjaan atau jabatan, kenaikan pembayaran akan terjadi secara otomatis, biasanya pada interval waktu tertentu atau apabila terjadi peningkatan jabatan. Pada kenyataannya, masih banyak perusahaan yang memperhatikan jabatan seseorang bukan pada kemampuan yang bersangkutan untuk mengembangkan keterampilannya. Secara sederhana keadaan ini dapat dijumpai pada bagian administrasi atau tata usaha suatu perusahaan.
Bagi tenaga administrasi yang mampu menggunakan mesin ketik elektrik atau komputer akan mendapatkan gaji yang sama dengan tenaga administrasi yang hanya mampu menggunakan mesin ketik manual, dan kenaikan gaji diberikan secara otomatis setelah kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun, dengan jumlah yang sama pula. Hal ini disebabkan karena masih banyak perusahaan yang lebih menghargai jabatan, dibanding kemampuan karyawan untuk mengembangkan keterampilannya, sehingga pemberian kompensasi juga didasarkan pada jabatan atau pekerjaannya dan bukan pada pengembangan keterampilan karyawan.
Perbedaan lain antara sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan dengan sistem kompensasi berdasarkan pekerjaan atau jabatan adalah berkaitan dengan senioritas. Secara tradisional, senioritas atau lamanya bekerja di tingkat tertentu memainkan peran besar, sehingga lebih lama dalam jabatan diasumsikan lebih berpengalaman sehingga cocok untuk mendapatkan nilai yang lebih besar. Dengan sistem berdasarkan keterampilan, nilai lebih menyatu pada keterampilan daripada jabatan.
Selain itu, peluang promosi bagi karyawan yang mempunyai keterampilan juga lebih besar, karena lebih mudah bagi karyawan yang memiliki keterampilan untuk dipromosikan atau pindah dari satu pekerjaan kepada pekerjaan yang lain. Berkaitan dengan senioritas, kondisi ini masih banyak dijumpai pada perusahaan maupun instansi di sini. Semakin lama seseorang bekerja pada suatu perusahaan, maka akan semakin tinggi kompensasi yang diterimanya, hal ini disebabkan karena peningkatan kompensasi diberikan secara otomatis dalam kurun waktu tertentu, sehingga sangat sulit bagi karyawan yunior untuk mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi dibanding karyawan yang senior, walaupun karyawan yunior mempunyai kemampuan dan keterampilan yang lebih baik dibandingkan karyawan senior tersebut.
Menurut Dessler (2000) terdapat empat perbedaan antara kompensasi berdasarkan keterampilan (skill-based pay) dan kompensasi berdasarkan pekerjaan atau jabatan (job based pay) yaitu: tes kompetensi, efek perubahan jabatan, senioritas, dan peluang promosi. Dalam Schuler dan Jackson (1999) diperinci sembilan perbedaan antara sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan dan berdasarkan jabatan.
Baca Selengkapnya....

Senin, Agustus 09, 2010

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1430 H

Allahumma bariklanaa fii rajab wa sya’ban wa balighna fii ramadhan ! Marhaban ya Ramadhan 1430 H jelang tiba bulan yang penuh Rahmat dan Maghfirah, bersihkan hati untuk meraih keridhoan ALLAH SWT dalam mencapai derajat Muttaqin. Mohon maaf lahir dan batin atas segala salah dan khilaf !
Baca Selengkapnya....

Sabtu, Agustus 07, 2010

KOMPENSASI BERDASARKAN JABATAN ATAU PEKERJAAN

Ada tiga komponen kunci untuk mengembangkan rencana kompensasi berdasarkan jabatan. Pertama, mewujudkan keadilan internal melalui evaluasi jabatan; kedua, mewujudkan keadilan eksternal melalui survei pasar; dan ketiga, mencapai keadilan individu (Gomez-Mejia, et al., 1995).

Metode evaluasi jabatan memusatkan diri pada jabatan sebagai unit kepentingan. Beberapa metode mengevaluasi jabatan secara keseluruhan, sedangkan beberapa lainnya menggunakan faktor-faktor yang dapat dikompensasi. Metode evaluasi jabatan yang sudah sangat populer dipakai untuk mengevaluasi posisi eksekutif, manajer dan professional maupun posisi teknik, administrasi dan manufaktur adalah metode Hay Guide Chart-Profile . Secara operasional, sistem ini mengandalkan tiga faktor utama yang bisa dikompensasi, yaitu pemecahan masalah (problem solving), kecakapan (know how) dan pertanggungjawaban (accountability). Menurut metode ini, faktor-faktor yang penting mempunyai nilai tinggi, sedangkan faktor-faktor yang kurang penting mempunyai nilai yang lebih rendah. Evaluasi jabatan ini hanya untuk internal perusahaan bukan untuk menghitung tingkat upah di pasar atau perusahaan lain. Selain itu evaluasi jabatan ini hanya fokus pada nilai tugas masing-masing jabatan, bukan pada orang yang melaksanakannya (Schuler dan Jackson, 1999; Gomez-Mejia et al., 1995).

Untuk mencapai keadilan eksternal, perusahaan harus melakukan survei pasar. Dalam hal ini perusahaan dapat menjalankan sendiri survei tersebut atau membeli dari konsultan. Dari hasil survei ini, perusahaan dapat membuat kebijakan pembayaran kompensasi, apakah akan membayar lebih tinggi, lebih rendah atau mengikuti pasar. Dasar pemikiran untuk membayar lebih tinggi adalah memaksimalkan kemampuan perusahaan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berkualitas dan untuk meminimalkan ketidakpuasan karyawan terhadap kompensasi. Kebijakan untuk membayar lebih rendah dari pasar akan mengakibatkan perusahaan terhalang dalam menarik karyawan-karyawan yang potensial, sedangkan kebijakan yang lazim dijalankan oleh perusahaan adalah mengimbangi persaingan. Meskipun kebijakan ini tidak memberikan keunggulan kompetitif, namun tidak menyebabkan perusahaan menjadi rugi.

Setelah perusahaan menyelesaikan struktur pembayaran untuk masing-masing jabatan, selanjutnya adalah memberikan kepada masing-masing individu suatu tingkat pembayaran yang sesuai dengan jabatannya. Seringkali perusahaan menggunakan pengalaman sebelumnya dan senioritas untuk menentukan berapa besar kompensasi yang harus dibayarkan kepada karyawannya. Untuk mencapai keadilan individu, maka perusahaan harus menyusun kriteria tingkat pembayaran. Keadilan individu mengarah pada keadilan dalam keputusan pembayaran bagi karyawan yang menempati jabatan yang sama.

Berbicara mengenai jabatan, menurut pendapat penulis masih banyak perusahaan yang menempatkan karyawan pada jabatan yang tidak semestinya, artinya jabatan yang diduduki tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki karyawan yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar perusahaan di sini masih merupakan perusahaan keluarga, sehingga karyawan yang menduduki jabatan tertentu dalam suatu perusahaan adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemilik perusahaan. Menurut pemilik perusahaan mereka adalah orang yang dapat dipercaya, tanpa memperhatikan apakah yang bersangkutan tepat untuk menduduki jabatan tersebut dan mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Hal ini seringkali mengakibatkan karyawan yang berpotensi berada di bawah pimpinan orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan yang memadai. Kondisi ini juga mengakibatkan pemberian kompensasi dirasakan oleh karyawan lain tidak adil. Mereka yang masih ada hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan akan mendapatkan kompensasi yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan lain yang mempunyai kemampuan lebih baik namun tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemilik perusahaan. Jadi dalam hal ini pengaruh pemilik perusahaan sangat besar sekali. Kondisi ini merupakan penghambat, sebab karyawan tidak termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, bahkan mereka akan cenderung menjauhi perusahaan yang demikian, apabila ada peluang untuk pindah ke perusahaan lain.
Baca Selengkapnya....

Selasa, Agustus 03, 2010

HARAPAN KARYAWAN TERHADAP KOMPENSASI

Menurut Schuler dan Jackson (1999), biasanya orang akan membandingkan besarnya kompensasi yang diterimanya dengan jumlah yang mereka yakini semestinya mereka terima. Mereka akan puas apabila tingkat kompensasi “yang semestinya” sebanding dengan tingkat kompensasi aktual, atau tidak puas apabila tingkat kompensasi aktual lebih kecil daripada tingkat kompensasi “yang semestinya”. Sedangkan Siagian (1995) menyebut tingkat kompensasi ini dengan istilah harapan.

Mengenai harapan, dapat dikatakan bahwa setiap karyawan dalam pikirannya sudah mempunyai gambaran atau mungkin bahkan keputusan tentang jumlah kompensasi yang layak diterimanya berdasarkan pertimbangan pendidikan, pengetahuan, keterampilan, sifat pekerjaan, besarnya tanggung jawab, dan besarnya wewenang. Disamping itu, harapan biasanya juga dikaitkan dengan kebutuhan ekonomisnya, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, perumahan, biaya pendidikan anak, jumlah tanggungan dan status sosialnya di masyarakat. Jadi, harapan didasarkan pada keinginan karyawan agar kompensasi yang diterima dari perusahaan memungkinkannya untuk memuaskan berbagai kebutuhannya secara wajar. Apabila kompensasi yang diterima ternyata tidak sesuai dengan harapannya, maka karyawan menjadi tidak puas.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kepuasan akan tercapai apabila pemberian kompensasi dirasakan adil dan sesuai dengan harapan karyawan. Jadi jika perusahaan ingin menarik karyawan baru dan mempertahankan karyawan yang potensial dan mempunyai keterampilan, maka kompensasi yang ditawarkan seharusnya kurang lebih sama dengan karyawan lainnya dalam perusahaan yang setara-dengan kata lain ada keadilan eksternal. Apabila sistem kompensasi didasarkan pada kinerja, maka harus disertai dengan metode pengukuran kinerja karyawan yang akurat dan terbuka, sehingga karyawan secara jelas dapat melihat hubungan kinerja dengan kompensasi. Tingkat kompensasi juga harus ditinjau kembali secara terus menerus dan diperbaharui jika perlu. Kepercayaan dan konsistensi harus dipelihara, sehingga karyawan dapat merasakan bahwa perusahaan memperhatikan kepentingan karyawan dan juga kepentingan perusahaan sendiri.
Baca Selengkapnya....

Rabu, Juli 28, 2010

SOLUSI PENGENTASAN KEMISKINAN

Pernyataan “a country is poor because it is poor” sungguh sangat menyedihkan. Sebuah pernyataan yang tidak berujung pangkal bahwa ia miskin karena tidak punya apa-apa, dan tidak punya apa-apa menyebabkan ia menderita kemiskinan. Ada beberapa solusi untuk ‘memotong’ lingkaran setan kemiskinan di Indonesia, yaitu:

Menggali Potensi Kekayaan Alam. Indonesia dikenal luas memiliki kekayaan alam yang sangat potensial. Lautannya yang penuh dengan berbagai macam spesies ikan, daratannya yang kaya dengan hasil-hasil hutan, dan perut buminya yang penuh dengan sumberdaya energi dan mineral. Apakah eksplorasi kekayaan alam dapat secara langsung ‘menyentuh’ masyarakat miskin? Jawabannya mungkin“Tidak,” kecuali penggalian potensi kekayaan laut yang dapat secara langsung melibatkan masyarakat miskin di daerah pesisir. Sulit sekali untuk mengatakan bahwa penggalian potensi hutan dan perut bumi dapat menyentuh langsung masyarakat miskin. Pemanfaatan hasil hutan dan perut bumi mensyaratkan modal besar—yang jelas-jelas tidak dimiliki oleh kaum miskin.

Meningkatkan Produktivitas Kerja. Dalam konteks masyarakat miskin di sektor pertanian, produktivitas mengacu kepada bagaimana meningkatkan hasil usahatani. Upaya ini bisa dilakukan oleh pemerintah, misalkan, dengan mendorong para petani untuk melakukan mekanisasi dalam pemrosesan lahan pertanian, atau dengan membangun sarana/prasarana (sistem irigasi, misalkan) untuk menunjang lahan pertanian. Upaya ini tentu dapat meningkatkan hasil tani, tetapi ia sangat sektoral yang hanya menyentuh pemilik lahan pertanian. Lebih dari itu, upaya ini tidak menyentuh langsung buruh tani dan/atau masyarakat miskin perdesaan yang tidak mempunyai lahan.

Menggiatkan Masyarakat untuk Menabung. Tabungan (saving) dapat dimaknai, dalam arti sempit, sebagai bagian dari pendapatan uang yang pembelanjaannya disimpan/ditunda sampai di kemudian hari. Jika tabungan disimpan dalam sebuah bank, maka ia dapat menciptakan pendapatan bagi pihak lain. Dalam sistem perbankan, tabungan atas nama pihak deposan menjadi dana bank untuk disalurkan kepada pihak debitur dalam bentuk kredit. Jika kredit ini dipakai oleh debitur untuk membiayai kegiatan usaha produktifnya, maka ia bisa menciptakan keuntungan bagi debitur dan memberikan pendapatan bagi para tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan usaha itu. Masalahnya adalah bahwa masyarakat miskin, dari definisinya, tidak mempunyai sisa pendapatan untuk ditabung. Memikirkan uang untuk dibelanjakan hari ini saja sudah setengah mati, apalagi memikirkan uang untuk ditabung. Kalaupun mereka ingin mengakses dana pinjaman dari bank, mereka akan terbentur oleh kolateral. Mereka tidak mempunyai tabungan karena miskin, dan tidak dapat meminjam dana bank karena miskin pula.

Memberikan Pinjaman untuk Modal Usaha. Tidak adanya pembentukan modal dalam masyarakat perdesaan bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka masih belum memahami manfaat dan arti pentingnya lembaga keuangan dalam memobilisasi dana-dana tabungan. Sebagai misal, kita sering melihat masyarakat perdesaan menabung dengan cara menyimpan uangnya ‘di bawah bantal,’ memelihara tanah persawahan, memelihara ternak, atau membeli perhiasan. Kedua, mereka ingin memanfaatkan peluang untung dari sebuah usaha produktif yang digagasnya, tetapi mereka dikendalai oleh ketersediaan modal.
Baca Selengkapnya....

Selasa, Juli 20, 2010

INDIKATOR KEMISKINAN

Kemiskinan dalam sebuah masyarakat bukanlah perkara yang mudah untuk dinilai (assessed). Perkara ini muncul sejak tahun 1970an, ketika para pakar ekonomika mendapat kritikan tajam karena ’terlalu memuja’ pendapatan (income) per kapita (GDP per kapita) sebagai indikator kemiskinan. GDP adalah kependekan dari Gross Domestic Product, yang mencerminkan kemampuan penduduk dalam wilayah/negara tertentu untuk menghasilkan income. Ia diindonesiakan menjadi PDB (= Produk Domestik Bruto).

Semakin kecil GDP per kapita yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, maka semakin miskin masyarakat itu. Kritikan tajam yang dialamatkan kepada pemuja GDP ini kemudian dijawab dengan memasukkan aspek harga lokal ke dalam GDP sehingga menjadi purchasing power adjusted real GDP. Pentransformasian GDP per kapita sehingga mencerminkan daya beli ini akan membuat GDP suatu wilayah menjadi fair jika dibandingkan dengan GDP wilayah (atau negara) lain.

GDP per kapita berdasarkan daya beli ini tidaklah serta-merta kemudian diratifikasi oleh semua sarjana. Indikator ini dianggap ’sangat ekonomi’ sehingga tidak memberikan ruang bagi sarjana-sarjana nonekonomi untuk berbicara tentang kemiskinan. Indikator ini dikatakan hanya mencerminkan kuantitas, dan tidak berbicara tentang kualitas hidup masyarakat. Dari sini kemudian lahir indikator alternatif untuk mengukur kemiskinan, yaitu Physical Quality of Life Index (PQLI) atau lebih dikenal sebagai basic need approach. PQLI adalah sebuah indikator kesejahteraan yang mempertimbangkan kecukupan sandang, kecukupan pangan, dan ketersedian papan. Cerita tentang perkembangan indikator kemiskinan belum berakhir. Ketika kita mengamati dan kemudian harus menjelaskan kemiskinan berdasarkan tingkat pendapatan uangnya, kecukupan sandang, pangan, dan kecukupan papan, kita kemudian disadari atau tidak-akan segera mengaitkan ’apa yang terlihat’ dengan anugerah-anugerah lainnya yang bersifat non-uang (non-ekonomi murni) dan non-fisik seperti kesehatan dan pendidikan.

Bank Dunia (UNDP) dalam sebuah laporannya tahun 1990, memperkenalkan Human Development Index (HDI). HDI ini kemudian diindonesiakan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun ke atas (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lamanya sekolah (dengan bobot sepertiga); dan tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan Purchasing Power Parity (PPP rupiah). Pembangunan manusia yang berhasil akan membuat usia rata-rata masyarakatnya meningkat; juga ditandai dengan peningkatan pengetahuan yang bermuara pada peningkatan kualitas SDM. Pencapaian dua hal itu selanjutnya akan meningkatkan produktivitas sehingga pada akhirnya akan meningkatkan mutu hidup dalam arti hidup layak (Meier, 1995:7-32).

Uraian di atas menegaskan bahwa pendapatan masyarakat atau GDP, bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan bukan lagi melulu bersangkut-paut dengan uang nominal yang diterima sebagai pendapatan (income). Ia tidak juga berbicara tentang ketersediaan sandang, pangan, papan. Ia harus pula mempertimbangkan aspek pendidikan dan aspek kesehatan.

Usaha untuk menangkap semua indikator kemiskinan yang dicontohkan di atas tentunya bukanlah tanpa tantangan. Tantangan berikutnya yang segera menghadang adalah bagaimana mengukur kemiskinan dan sejauhmana ketersediaan data kemiskinan. Meskipun demikian, studi ini “should not prevent us from making use of whatever data may be easily available already” (Sen, 1985:73). Konsekuensi dari kemiskinan adalah tidak adanya pilihan bagi penduduk miskin (poverty giving most people no option) untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar, misalkan (1) kebutuhan pendidikan; (2) kesehatan; dan (3) kebutuhan ekonomi-kepemilikan alat-alat produksi yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan.

Kondisi demikian menimbulkan rangkaian-rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain, sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Nurkse (dalam Sukirno, 1981:218) mengatakan bahwa suatu negara adalah miskin karena memang miskin (a country is poor because it is poor). Ia menjelaskannya dengan konsep lingkaran ‘setan’ kemiskinan atau lebih dikenal sebagai vicious circles of poverty.

Lingkaran setan kemiskinan ini disebabkan oleh keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terciptanya tingkat pembentukan modal. Sedangkan pembentukan modal diperoleh dari tingkat tabungan. Ada dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan, yaitu dari sisi penawaran dan permintaan modal. Pertama, penawaran modal. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah diakibatkan oleh produktivitas rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung rendah. Pada akhirnya, tingkat pembentukan modal juga rendah. Efek dari pembentukan modal rendah adalah negara menghadapi kekurangan barang modal, implikasinya tingkat produktivitas tetap rendah. Kedua, permintaan modal. Di negara miskin keinginan untuk menanamkan modal rendah. Hal ini lebih disebabkan luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas. Di samping itu, pendapatan masyarakat juga rendah yang diakibatkan produktivitas mereka rendah.
Baca Selengkapnya....

Rabu, Juli 14, 2010

KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2002) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, loe leve security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan , keterpurukkan, dan ketidakberdayaan.

Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi (Nanga, 2006). Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan BPS pada tahun 1984 yang mencakup data kemiskinan periode 1976-1981. Semenjak itu setiap tiga tahun sekali BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, yaitu pada saat modul konsumsi tersedia. Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut batas miskin atau garis kemiskinan.

Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2100 kalori perhari. Mengacu pada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan energinya sebesar 2100 kalori perhari. Agar seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan (BPS, 1999).

Analisis faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan atau determinan kemiskinan pernah dilakukan oleh Ikhsan (1999). Ikhsan, membagi faktor-faktor determinan kemiskinan menjadi empat kelompok, yaitu modal sumber daya manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik desa. Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempangaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan adalah jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin tinggi pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi.

Variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai perkapita dan kepemilikan asset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, dimana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga.

World Bank (2002) mengkategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah tangga, dan individu. Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan. Indikator pembangunan infrastruktur yang penting adalah saluran irigasi, akses listrik, dan kondisi jalan utama transportasi. Indikator lain dari karakteristik faktor komunitas adalah akses yang sama terhadap usaha atau pekerjaan seperti keberadaan lembaga keuangan dan industri.

Pada tingkat wilayah ada bermacam-macam karakteristik yang mungkin berkaitan dengan kemiskinan. Hubungan dari karakteristik tersebut dengan kemiskinan adalah sesuai dengan kondisi wilayah tersebut. Meskipun demikian, secara umum tingkat kemiskinan akan tinggi di wilayah dengan ciri-ciri sebagai berikut: terpencil secara geografis, sumberdaya yang rendah, curah hujan yang rendah, dan kondisi iklim yang tidak ramah.
Baca Selengkapnya....

Kamis, Juli 08, 2010

KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK WIRAUSAHAWAN

Landau (1982) telah mengusulkan hubungan dari risiko yang dibawa (risk bearing) dengan karakteristik inovasi akan membuat sebuah dasar klasifikasi entrepreneur. Gambler merupakan entrepreneur juga, tetapi selalu mempunyai karakteristik inovasi yang rendah dan risiko besar. Dreamer (pemimpi) adalah entrepreneur yang mempunyai inovasi yang tinggi, tetapi hanya mau menerima risiko yang rendah. Consolidator adalah entrepreneur yang hanya bisa menerima risiko rendah dan karakteristik inovasi yang rendah pula. Entrepreneur adalah seseorang yang mempunyai karakteristik inovasi yang tinggi dan risiko yang dihadapi atau dibawanya juga cukup tinggi.

Kuratko dan Hodgetss (2001) menyebutkan ada 10 karakteristik dari entrepreneur yaitu:
1. Entrepreneur adalah pelaku bukan pemikir
2. Entrepreneur dilahirkan, bukan dibuat atau diciptakan
3. Entrepreeur selalu menjadi penemu/pencipta sesuatu
4. Entrepreneur adalah akademisi dan tidak bisa menyesuaikan dalam masyarakat
5. Entrepreneur harus memenuhi the profile
6. Kebutuhan entrepreneur adalah uang
7. Kebutuhan entrepreneur adalah keberuntungan
8. Ketidaktahuan merupakan kebahagian bagi entrepreneur
9. Entrepreneur menginginkan keberhasilan, tetapi pengalaman menyatakan tingkat kegagalan cukup tinggi
10. Entrepreneur adalah sangat pengambil risiko (gamblers)

Karakteristik ini sangat memberikan pandangan kepada semua pihak bahwa entrepreneur selalu membawa risiko dan inovasi. Pada sisi lain Kao (1991) menyebutkan ada 11 karakteristik entrepreneur yaitu:
1. Total komitmen, penentu, dan melindungi
2. Dorongan untuk mendapatkan dan bertumbuh
3. Orientasi kepada kesempatan dan tujuan
4. Mempunyai inisiatif dan tanggung jawab personal
5. Pemecah persoalan secara terus menerus
6. Memiliki realisme dan dapat bercengkerama (humor)
7. Selalu mencari dan menggunakan umpan balik (feedback)
8. Selalu fokus pada internal
9. Menghitung dan mencari risiko
10. Kebutuhan yang kecil untuk status dan kekuasaan
11. Memiliki integritas dan reliabilitas

Sukardi (1991) menyebutkan ada 9 karakteristik tingkah laku wirausahawan yaitu:
1. Sifat instrumental
2. Sifat prestatif
3. Sifat keluwesan bergaul
4. Sifat kerja keras
5. Sifat keyakinan diri
6. Sifat pengambil risiko
7. Sifat swakendali
8. Sifat inovatif
9. Sifat kemandirian

Menurut Boyd dan Gumpert (1983) bahwa para entrepreneur banyak menemui tekanan setiap inovasi yang dikerjakannya. Sumber tekanan tersebut dapat diidentifikasi dari empat penyebab yaitu: kesepian, terbenam dalam bisnis yang dikerjakan, persoalan-persoalan pegawai, dan kebutuhan akan keberhasilan. Ada lima persoalan penting yang harus dikerjakan agar tekanan tersebut dapat diatasi yaitu:
  1. Membuat networking: kesepian yang dihadapi dilakukan dengan membuat hubungan baik dengan berbagai pihak sehingga bisa bercerita soal situasi yang dihadapi.
  2. Keluar dari persoalan secara total: pada saat tidak bekerja seperti hari libur atau akhir pekan entrepreneur harus melepaskan semua pekerjaan dan tidak menerima laporan sehingga tubuh dapat kesegaran.
  3. Berkomunikasi dengan pekerja: entrepreneur harus mau membuka pintu dan berdiskusi dengan karyawan. Hubungan yang baik dengan karyawan akan membantu entrepreneur menghadapi persoalan yang dihadapi.
  4. Menemukan kepuasan di luar perusahaan: entrepreneur dapat melakukan kegiatan di luar perusahaan untuk mendapatkan kepuasan sehingga bisnis yang dikerjakan tidak menjadi persoalan.
  5. Pendelegasian: entrepreneur harus bisa mendelegasikan pekerjaan kepada karyawan dan pekerjaan tidak dipegang sendiri seluruhnya.
Baca Selengkapnya....

Jumat, Juli 02, 2010

STANDAR PEKERJA

Manajer operasional dapat menetapkan standar pekerja yang benar yaitu secara tepat dapat menentukan rata-rata waktu yang dibutuhkan seorang karyawan untuk melaksanakan aktivitas tertentu dalam kondisi kerja normal. Penetapan standar pekerja dapat menggunakan empat cara yaitu :

Pengalaman Masa Lalu (Work Sampling)
Standar pekerja dapat diestimasi berdasarkan apa yang telah terjadi di masa lalu yaitu berapa jam kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Cara ini memiliki kelebihan karena relatif mudah dan murah didapatkan. Standar seperti ini lazimnya didapatkan datanya dari kartu waktu pekerja atau dari data produksi. Akan tetapi kelemahannya adalah tidak obyektif dan tidak dapat diketahui keakuratannya apakah kecepatan kerjanya layak atau tidak, dan apakah kejadian yang tidak biasa sudah diperhitungkan atau belum. Oleh karena itu penggunaan teknik ini tidak dianjurkan maka tiga cara yang lain adalah yang dianjurkan.


Studi Waktu (Time Study)
Merupakan pencatatan waktu sebuah sampel kinerja pekerja dan menggunakannya sebagai dasar untuk menetapkan waktu standar. Adapun langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Definisikan pekerjaan yang akan diamati, (2) Bagilah pekerjaan menjadi elemen yang tepat, (3) Tentukan banyaknya pengamatan yang harus dillakukan (jumlah siklus atau sampel yang dibutuhkan), (4) Hitung waktu dan catat waktu elemen serta tingkat kinerja, (5) Hitung waktu siklus rata-rata yang disebut waktu siklus pengamatan rata-rata (average observed cycle time) yang merupakan rata-rata aritmatika dari waktu setiap elemen yang diukur, yang disesuaikan dari pengaruh yang tidak biasa untuk setiap elemen, (6) Tentukan tingkat kinerja dan kemudian hitung waktu normal (normal time) untuk tiap elemen, (7) Tambahkan waktu kinerja normal untuk setiap elemen untuk mendapatkan waktu normal total untuk pekerjaan tersebut, (8) Hitung waktu standar (standar time) dengan memperhitungkan kelonggaran seperti waktu untuk kebutuhan pribadi, keterlambatan, kelelahan.

Standar Waktu Yang Telah Ditentukan (Predetermined Time Study)
Merupakan suatu pembagian pekerjaan manual menjadi elemen dasar kecil yang waktunya telah ditetapkan dan dapat diterima secara luas. Caranya dengan menjumlahkan faktor waktu bagi setiap elemen dasar dari pekerjaan. Cara ini membutuhkan biaya yang besar. Metode yang paling umum adalah metode pengukuran waktu (MTM = Methods Time Measurement).
Standar waktu yang telah ditetapkan merupakan perkembangan dari gerakan dasar yang disebut sebagai Therblig yang ditemukan oleh Frank Gilbreth, yang mencakup aktifitas seperti memilih, mengambil, mengarahkan, merakit, menjangkau, memegang, beristirahat, meneliti. Standar waktu yang telah ditetapkan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan studi waktu yaitu: (1) Standar waktu dapat dibuat di laboratorium sehingga prosedur ini tidak mengganggu aktifitas sesungguhnya, (2) Karena standar dapat ditentukan sebelum pekerjaan benar-benar dilakukanmaka dapat digunakan untuk membuat rencana, (3) Tidak ada pemeringkatan kinerja yang dibutuhkan, (4) Serikat pekerja cenderung menerima metode ini sebagai cara yang wajar untuk menetapkan standar, (5) Standar waktu yang telah ditentukan biasanya efektif pada perusahaan yang melakukan sejumlah besar penelitian pada tugas yang sama.

Pengambilan Sampel Kerja
Metode ini dikembangkan di Inggris oleh L. Tipper pada tahun 1930. Pengambilan sampel kerja memperkirakan persentase waktu yang dihabiskan oleh seorang pekerja pada beragam pekerjaan. Hasilnya digunakan untuk menentukan bagaimana karyawan mengalokasikan waktu mereka diantara aktivitas yang beragam. Hal ini akan mendorong adanya perubahan karyawan, penugasan ulang, perkiraan biaya aktivitas dan kelonggaran keterlambatan bagi standar pekerja. Apabila pengambilan sampel ini untuk menetapkan kelonggaran keterlambatan, maka sering disebut penelitian rasio keterlambatan (ratio delay study).
Prosedur dalam metode ini ada lima langkah sebagai berikut: (1) Mengambil sampel awal untuk mendapatkan sebuah perkiraan nilai parameter seperti persentase waktu sibuk seorang pekerja, (2) Hitung ukuran sampel yang dibutuhkan, (3) Buat jadwal pengamatan pada waktu yang layak. Konsep angka acak digunakan untuk menapatkan pengamatan yang benar-benar acak, (4) Lakukan pengamatan dan catat aktivitas pekerja, (5) Tentukan bagaimana pekerja menghabiskan waktu mereka biasanya dalam persentase.
Fokus pada pengambilan sampel kerja adalah untuk menentukan bagaimana para pekerja mengalokasikan waktu mereka diantara beragam aktivitas yang dilakukannya. Hal ini dapat dicapai dengan menetapkan persentase waktu yang dihabiskan oleh seorang pekerja pada aktifitas yang ada pada sejumlah waktu tertentu. Seorang analis hanya mencatat aktivitas yang dilakukan secara acak.
Baca Selengkapnya....

Jumat, Juni 18, 2010

DISAIN PEKERJAAN

Disain kerja adalah sebuah pendekatan yang menentukan tugas-tugas yang terkandung dalam suatu pekerjaan bagi seorang atau sekelompok karyawan. Terdapat tujuh komponen disain kerja yang meliputi:

Spesifikasi Kerja (Job Spesification), yaitu pembagian kerja menjadi tugas- tugas yang unik, yang mana pencapaiannya dapat dilakukan dengan cara: (a) Pengembangan ketrampilan, (b) Lebih sedikit waktu yang terbuang, dan (c) Pengembangan peralatan yang khusus.


Perluasan Kerja (Job Expansion), yaitu usaha meningkatlkan kualitas lingkungan kerja dengan mengalihkan spesialisasi kerja menuju disain kerja yang lebih bervariasi. Adapun modifikasinya dapat dengan cara: (a) Pemekaran pekerjaan (Job enlargement) yaitu pengelompokan beragam tugas yang memiliki tingkat keahlian yang hamper sama, merupakan pemekaran secara horizontal, (b) Rotasi pekerjaan (Job rotation) yaitu sebuah system dimana seorang karyawan dipindahkan dari satu pekerjaan yang khusus ke pekerjaan khusus lain, (c) Pengayaan pekerjaan (Job enrichment) yaitu sebuah metode yang memberikan karyawan tanggung jawab yang lebih yang meliputi perencanaan dan pengendalian yang diperlukan untukl menyelesaikan pekerjaan, dan (d) Pemberdayaan karyawan (Employee empowerment) yang merupakan praktek dalam memperluas pekerjaan, sehingga karyawan menerima tanggung jawab yang lebih dan otoritas berpindah pada tingkat organisasi serendah mungkin.



Komponen Psikologi (Psychological Components), suatu strategi sumber daya manusia yang efektif membutuhkan pertimbangan komponen psikologis dari disain pekerjaan. Diantaranya merupakan : (a) Hasil dari penelitian Hawthrorne tentang psikologi tempat kerja yang menyimpulkan bahwa terdapat system social yang dinamis di tempat kerja dan (b) Hasil penelitian Hackman dan Oldman yang menyimpulkkan adanya lima karakteristik disain kerja yaitu meliputi: Keragaman keahlian, Identitas pekerjaan, Arti pekerjaan, Otonomi, Umpan balik.


Tim yang mandiri (Self directed team), yaitu sekelompok individu yang diberdayakan dan bekerja bersama-sama untuk meraih sebuah tujuan yang sama. Tim semacam ini dapat dikelola untuk tujuan jangka panjang atau jangka pendek. Tim semacam ini efektif karena pada dasarnya mereka dapat menyediakan pemberdayaan karyawan, memastikan adanya karakteristik pekerjaan inti sampai memuaskan banyak kebutuhan psikologis anggota tim secara individu.


Motivasi dan sistem insentif, disamping faktor psikologis berkontribusi dalam kepuasan kerja, maka fakor keuangan juga merupakan motinvator yang cukup berarti bagi karyawan. Adapun bentuk penghargaan keungan diantaranya: (a) Bonus (bonuses) yaitu penghargaan keuangan yang biasanya berbentuk pilihan tunai atau kepemilikan saham yang diberikan pada pihak manajemen, (b) Pembagian laba (Profit sharing) yaitu sebuah system yang memberikan sebagian laba perusahaan untuk dibagikan pada karyawan, (c) Pembagian keuntungan (Gain sharing) yaitu sebuah sistem penghargaan bagi karyawan akan perbaikan kinerja organisasi, (d) Sistem insentif (Insentive system) yaitu sebuah sistem penghargaan karyawan yang didasarkan pada produktifitas perorangan atau kelompok, dan (e) Sistem pembayaran berdasarkan pengetahuan (knowledge-based pay systems) yaitu sebagian pembayaran bergantung kepada pengetahuan yang diperlihatkan atau ketrampilan yang dimiliki karyawan. Beberapa sistem seperti ini memiliki tiga dimensi yaitu: Keahlian horizontal, Keahlian vertikal, dan Kedalaman keahlian.

Ergonomi dan Analisis Metode Kerja, Ergonomi berarti penelitian akan kerja yaitu penelitian terhadap kerja, yang mana pemahaman akan permasalahan ergonomi akan meningkatkan kinerja manusia. Contohnya adalah menentukan tinggi meja tulis yang layak dengan cara mempertimbangkan ukuran individu dan tugas yang akan dikerjakan. Analisis Metode kerja adalah mengembangkan prosedur kerja yang aman dan menghasilkan produk bermutu secara efisien. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan: (a) Diagram alir dan diagram proses, (b) Diagram aktifitas, dan (c) Diagram gerakan mikro.

Tempat kerja visual, adalah penggunaan beragam teknik komunikasi visual untuk mengkomunikasikan informasi secara cepat bagi semua pihak yang berkepentingan.Tempat kerja visual dapat berwujud dalam berbagai bentuk, contohnya: (a) Kanban merupakan sebuah tipe tanda visual yang mengindikasikan kebutuhan produksi yang lebih banyak dan (b) Andon adalah sebuah tanda misalnya lampu yang bertujuan memenaggil orang yang memberi tanda terdapat suatu masalah.
Tujuan tempat kerja visual adalah untuk menghilangkan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dan semua bentuk pemborosan dengan cara memvisualisasikan semua masalah., ketidaknormalan dan standar yang ada. Konsep ini membutuhkan pengawasan yang lebih sedikit karena karyawan memahami standar, melihat hasilnya dan mengerti apa yang harus dilakukan.
Baca Selengkapnya....

Selasa, Juni 01, 2010

KEPUASAN PELANGGAN


Ruang lingkup pemasaran sangat ditentukan oleh bauran pemasaran, yang terdiri dari empat komponen utama, yaitu produk, harga, promosi dan distribusi. Penerapan yang lebih spesifik untuk pemasaran jasa menyebabkan bauran pemasaran diperluas dengan tiga komponen tambahan, yaitu manusia, bukti fisik, dan proses. Manusia sebagai komponen yang memainkan peran saat berlangsungnya proses transaksi. Bukti fisik adalah ruang di mana jasa di transfer antara penjual dan pembeli. Sedangkan proses merupakan prosedur atau mekanisme berkaitan dengan penyampaian jasa.

Jasa memiliki karateristik utama yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran yaitu tidak berwujud, tidak terpisahkan, bervariasi, dan mudah lenyap. Faktor utama yang membedakan untuk perusahaan-perusahaan jasa adalah kualitas layanan pelanggan. Menurut Payne (1993), para pelanggan semakin pandai berkaitan dengan permintaan mereka dan menuntut standar layanan yang semakin meningkat. Saat ini perusahaan jasa menyadari untuk memperbaiki layanan pelanggan untuk menghadapi persaingan dalam lingkungan jasa yang sangat kompetitif. 

Konsep kepuasan pelanggan juga merupakan salah satu konsep yang berkembang sejak tahun 1970-an. Oliver (1981) mendefinisikan kepuasan sebagai sikap terhadap hasil transaksi dan dari kepuasan diperkirakan akan mempengaruhi perilaku lanjutan atau kesetiaan pelanggan. Upaya perusahaan untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggannya agar apa yang diharapkan oleh mereka sesuai dengan kenyataan sehingga mereka puas dan akan membentuk pengalaman konsumsi yang positif. Oliver (1981) menghubungkan kepuasan pelanggan terhadap perilaku lanjutan dan loyalitas pelanggan adalah yang paling sering digunakan sebagai referensi. 

Kepuasan pelanggan merupakan variabel mediator yang menghubungkan variabel kualitas layanan, kepercayaan dan kesetiaan pelanggan. Costabile (1998, dalam Ferrinadewi dan Djati, 2004) mendefinisikan kepercayaan (trust) sebagai persepsi terhadap kehandalan dari sudut pandang pelanggan didasarkan pada pengalaman, atau mengarah pada tahapan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan kinerja produk dan tercapainya kepuasan. Blackston (1992) menyatakan bahwa kepercayaan adalah salah satu komponen dari keberadaan hubungan pelanggan dengan merek. Proposisi yang ditunjukkan oleh Ferrinadewi (2004) adalah kepercayaan terbentuk dari kepuasan pelanggan yang kemudian menjadi indikasi awal terbentuknya kesetiaan pelanggan. Sedangkan kesetiaan pelanggan merupakan suatu tahap pencapaian yang menguntungkan bagi perusahaan yang menunjukkan konsistensi hubungan antara pelanggan dan perusahaan. Hal ini karena kesetiaan pelanggan dapat mengurangi biaya pemasaran dan dapat menarik pelanggan-pelanggan baru. Selain itu, kesetiaan pelanggan menyebabkan perusahaan dapat bertahan dari persaingan suatu industri yang sangat ketat.

Upaya-upaya perusahaan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang setia menyebabkan sifat-sifat pelanggan yang manja dan banyak menuntut dari perusahaan. Hal yang akan tetap bertahan untuk beberapa tahun ke depan adalah pentingnya membentuk kepuasan yang total bagi pelanggan. Bukan saja agar pelanggan tidak kecewa, tetapi juga memberikan nilai-nilai daya guna kepada mereka agar tidak berpindah ke para pesaing. Ke depannya, tugas perusahaan dan pemasar semakin berat karena semakin berkembangnya proses memanjakan pelanggan dan semakin banyaknya pelaku bisnis di suatu industri. 

Customer Relationship Management (CRM) dapat menjawab tantangan tersebut. CRM membantu perusahaan memahami kebutuhan pelanggan, memudahkan penawaran produk, menentukan waktu dan bentuk interaksi yang disukai pelanggan, dan meningkatkan kualitas layanan, melalui pemanfaatan kemajuan teknologi informasi seperti komputer dan internet yang dapat mengolah basis data pelanggan dan segala bentuk riset pasar. Informasi mengenai pelanggan akan memberitahukan perusahaan tentang apa yang dianggap oleh pelanggan sebagai sesuatu yang “bernilai”. Pelanggan menganggap kepuasan yang diperolehnya adalah bentuk keperdulian berhubungan perusahaan dengan pelanggan. Pada dasarnya, tujuan akhir dari CRM adalah untuk membentuk pelangganpelanggan baru sebanyak-banyaknya sekaligus memaksimalkan laba perusahaan dari pelanggan yang telah ada. Biasanya apa yang dilakukan oleh kebanyakan perusahaan adalah hanya menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas baik yang kemudian membentuk citra positif dan terpercaya sehingga cukup untuk memperoleh kepercayaan pelanggan (Blackston, 1992). 

Kepercayaan pelanggan tidak cukup untuk membuat pelanggan setia, meski dapat dijadikan indikasi awal ditinjau dari perilaku kognitifnya. CRM memungkinkan kepercayaan dan kesetiaan pelanggan dapat terbentuk. CRM berkaitan erat dengan dua perencanaan stratejik pemasaran, yaitu untuk mencari pelanggan-pelanggan baru, dan untuk mempertahankan pelanggan-pelanggan yang telah ada, sehingga aplikasi program-program CRM adalah terkait dengan upaya untuk menyesuaikan apa yang dikeluarkan untuk memperoleh pelanggan dengan apa yang dikeluarkan untuk mempertahankannya. Perusahaan harus memperhatikan dinamika perilaku pelanggan mereka, sehingga perusahaan dapat menetapkan kelompok-kelompok pelanggan yang menguntungkan bagi kepentingan jangka panjang. 

Peningkatan kualitas layanan melalui optimalisasi sumber daya manusia dari karyawan yang akan membentuk kepuasan pelanggan dan pemberdayaan kekuatan mereka, harus selalu dilakukan untuk menjaga hubungan yang saling menguntungkan antara pelanggan dan perusahaan. Upaya untuk mencari pelanggan baru, memuaskannya, mempertahankannya, dan membuatnya setia terhadap perusahaan, adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan, namun CRM dengan dukungan teknologi informasi dan proses bisnis yang berfokus terhadap pelanggan akan memungkinkan pertumbuhan pelanggan-pelanggan yang setia secara berkesinambungan.
Baca Selengkapnya....

Jumat, Februari 12, 2010

KINERJA

Seseorang akan selalu mendambakan penghargaan terhadap hasil pekerjaanya dan mengharapkan imbalan yang adil. Penilaiaan kinerja perlu dilakukan seobyektif mungkin karena akan memotivasi karyawan dalam melakukan kegiatannya. Disamping itu pula penilaan kinerja dapat memberikan informasi untuk kepentingan pemberian gaji, promosi dan melihat perilaku karyawan.

Kinerja diartikan dengan manajemen kinerja adalah suatu proses manajemen yang dirancang untuk menghubungkan tujuan organisai dengan tujuan individu sedemikian rupa, sehingga baik tujuan individu maupun tujuan korporasi dapat bertemu (Barry Chusway, 1996 : 87). Proses manajemen kinerja yang beroperasi secara efektif akan menghasilkan sebagai berikut :


  1. Tujuan yang jelas bagi organisasi dan proses yang benar untuk mengidentifikasi, mengembangkan, mengukur dan membahas tujuan tersebut.
  2. Integrasi antara tujuan secara luas yang dibuat oleh manajemen senior dengan tujuan masing-masing.
  3. Kejelasan yang lebih baik tentang aspirasi dan tujuan organisasi.
  4. Pengembangan budaya kinerja dimana prioritas utama terletak pada hasil dari aspek kosmetik fungsi organisasi, seperti penyesuaian terhadap prosedur standar.
  5. Pelaksanaan dialog berkelanjutan antara manajemen dengan pekerja, dan dengan sendirinya penekanannya lebih besar pada kebutuhan individu.
  6. Pengembangan lingkungan yang lebih terbuka dan terpelajar, dimana ide dan kesimpulan diletakkan digaris depan dan didiskusikan dalam situasi yang tidak menghakimi dengan konsekuensi pengembangan dalam budaya belajar.
  7. Mendorong pengembangan pribadi.

Waldman (1994); kinerja merupakan gabungan perilaku dengan prestasi dari apa yang diharapkan dan pilihannya atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu dalam organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2001:67); kinerja dapat didefinisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Cascio (1995:275) mengatakan bahwa kinerja merupakan prestasi karyawan dari tugas-tugasnya yang telah ditetapkan. Soeprihantono (1988 :7); mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan seorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran/kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

Berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan , tentunya membutuhkan kriteria yang jelas, karena masing-masing jenis pekerjaan tentunya mempunyai standar yang berbeda-beda tentang pencapaian hasilnya. Makin rumit jenis pekerjaan, maka standard operating procedure yang ditetapkan akan menjadi syarat mutlak yang harus dipatuhi.

Kinerja merupakan faktor yang mendukung keefektifan organisasi. (Mahoney dalam Abriani, 1998) melihat kinerja berdasarkan pada kemampuan manajer dalam melaksanakan tugas manajerialnya. Kinerja manajer meliputi kemampuan manajer dalam : perencanaan, investigasi, pengkoordinasian, evaluasi, pengawasan, pemilihan staf, negosiasi, perwakilan dan kinerja secara menyeluruh.

Menurut Barry Cushway (1996 : 88) ada empat langkah pokok dalam proses manajemen kinerja, yaitu :
  • Merencanakan kinerja
  • Mengelola kinerja
  • Meninjau kinerja
  • Memberi imbalan untuk bekerja.
Baca Selengkapnya....

Minggu, Januari 31, 2010

SEKILAS KEPUASAN KERJA

Pada dasarnya bahwa seseorang dalam bekerja akan merasa nyaman dan tinggi kesetiannya pada perusahaan apabila dalam bekerjanya memperoleh kepuasan kerja sesuai dengan apa yang diinginkan. Khususnya di Perusahaan manufaktur kepuasan kerja sangat didambakan oleh semua pihak, karena dalam perusahaan manufaktur kegiatan dimulai dari pengadaan bahan baku sampai menjadi barang jadi penuh dengan tantangan baik secara psikologi maupun jasmani. Kepuasan kerja itu sendiri sebenarnya mempunyai makna apa bagi seorang pekerja ?, ada dua kata yaitu kepuasan dan kerja. Kepuasan adalah sesuatu perasaan yang dialami oleh seseorang, dimana apa yang diharapkan telah terpenuhi atau bahkan apa yang diterima melebihi apa yang diharapkan, sedangkan kerja merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan dengan memperoleh pendapatan atau kompensasi dari kontribusinya kepada tempat pekerjaannya.



Dole and Schroeder (2001); Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya, sedangkan menurut Testa (1999)dan Locke (1983); Kepuasan kerja merupakan kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman-pengalaman pekerjaan. Nasarudin (2001); Igalens and Roussel (1999); Job satisfaction may be as a pleasurable ar positive emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experiences. Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif atau dapat menyenangkan yang dihasilkan dari suatu penilaan terhadap pekerjaan atau pengalaman-pengalaman kerja seseorang.

Ward and Sloane (1999); elemen of job satisfaction : (1) relationship with colleagues; (2) relationship with head of department;(3) ability and efficiency of head of department; (4) hours of work; (5) opportunity to use initiative; (6) Promotion prospects; (7) salary; (8); job security; (9) actual work undertaken; (10) overall job satisfaction. Penelitian Linz (2002); mengatakan bahwa secra positif sikap terhadap kerja ada hubungan positif dengan kepuasan kerja. Pada dasarnya makin positif sikap kerja makin besar pula kepuasan kerja, untuk itu berbagai indikator dari kepuasan kerja perlu memperoleh perhatian khusus agar pekerja dapat meningkatkan kinerjanya. Pada umumnya seseorang merasa puas dengan pekerjaanya karena berhasil dan memperoleh penilaiaan yang adil dari pimpinannya.
Baca Selengkapnya....

Sabtu, Januari 23, 2010

MOTIVASI


Berbagai usaha yang dilakukan oleh manusia tentunya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya, namun agar keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi tidaklah mudah didapatkan apabila tanpa usaha yang maksimal. Mengingat kebutuhan orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda tentunya cara untuk memperolehnya akan berbeda pula. Dalam memenuhi kebutuhannya seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Teori motivasi merupakan konsep yang bersifat memberikan penjelasan tentang kebutuhan dan keinginan seseorang serta menunjukkan arah tindakannya. Motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren. Herpen et al. (2002); hasil penelitiannya mengatakan bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan ekstrinsik Sedangkan Gacther and falk (2000), Kinman and Russel (2001); Motivasi intrinsik dan ekstrinsik sesuatu yang sama-sama mempengaruhi tugas seseorang. Kombinasi insentif intrinsik dan ekstrinsik merupakan kesepakatan yang ditetapkan dan berhubungan dengan psikologi seseorang.

Berbagai teori motivasi yang ada salah satunya adalah Porter Lawler Model. Persoalan antara kepuasan kerja dan kinerja muncul sejak adanya gerakan hubungan antar manusia. Sebenarnya dalam teori muatan tersirat adanya bahwa kepuasan mengarah kepada kinerja dan tidak kepuasan menurunkan kinerja. Porter Lawler menyatakan bahwa proses kognitif dalam persepsi memainkan suatu peran sentral bahwa hubungan antara kepuasan dan kinerja berhubungan secara langsung dengan suatu model motivasi.

Menurut Mondy and Noe (1996:358); Direct financial compensation consist of the pay that a person receives in the form of wages salaries, bonuses and commissions. Indirect financial compensation (benefits) includes all financial rewards that are not included direct compensation.

Kompensasi non keuangan terdiri dari kepuasan yang diterima oleh seseorang dari tugas atau dari psikologi dan atau lingkungan phisik dimana seseorang bekerja. Pada saat-saat tertentu seseorang dalam menerima kompensasi akan mengukur penerimaannya dengan bentuk nonfinancial atau financial hal ini tergantung pada tingkat kebutuhan yang dimilikinya.

Werther and Davis (1996:381); Manajemen kompensasi berusaha keras membuat keadilan luar dan dalam. Internal menghendaki keadilan nilai pembayaran relatif sama dengan tugas yang diterima sedangkan eksternal adalah pembayaran pekerja sebanding dengan pembayaran oleh perusahaan lain dipasaran tenaga kerja. Jadi kompensasi berusaha untuk memberikan kewajaran terhadap pembayaran-pembayaran yang diterima oleh pekerja baik dilihat dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Tjosvold et al. (2003); Reward and task system are potentially very critical for inducing cooperative conflict.
Baca Selengkapnya....

Kamis, Januari 21, 2010

SEKILAS BUDAYA ORGANISASI


Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak akan terlepas dari lingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula oleh lingkungannya dan agar kepribadian tersebut mengarah kepada sikap dan perilaku yang positif tentunya harus didukung oleh suatu norma yang diakui tentang kebenarannya dan dipatuhi sebagai pedoman dalam bertindak. Pada dasarnya manusia atau seseorang yang berada dalam kehidupan organisasi berusaha untuk menentukan dan membentuk sesuatu yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, agar dalam menjalankan aktivitasnya tidak berbenturan dengan berbagai sikap dan perilaku dari masing-masing individu. Sesuatu yang dimaksud tidak lain adalah budaya dimana individu berada, seperti nilai, keyakinan, anggapan, harapan dan sebagainya.

Glaser et al. (1987); Budaya organisasi seringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritual-ritual dan mitos-mitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau perusahaan, tentunya mempunyai budaya yang berbeda-beda hal ini wajar karena lingkungan organisasinya berbeda-beda pula misalnya perusahaan jasa, manufaktur dan trading. Hofstede (1986:21); Budaya merupakan berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang dalam lingkungannya. Menurut Beach (1993:12); Kebudayaan merupakan inti dari apa yang penting dalam organisasi. Seperti aktivitas memberi perintah dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang dilakukan dan tidak dilakukan yang mengatur perilaku anggota. Jadi budaya mengandung apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pedoman yang dipakai untuk menjalankan aktivitas organisasi.

Pada dasarnya budaya organisasi dalam perusahaan merupakan alat untuk mempersatukan setiap individu yang melakukan aktivitas secara bersama-sama. Kreitner dan Kinicki (1995:532); mengemukakan bahwa budaya orgainsasi adalah perekat sosial yang mengingat anggota dari organisasi. Nampaknya agar suatu karakteristik atau kepribadian yang berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat disatukan dalam suatu kekuatan organisasi maka perlu adanya prekat sosial.

Pendapat Bliss (1999) mengatakan bahwa didalam budaya terdapat kesepakatan yang mengacu pada suatu sistem makna secara bersama, dianut oleh anggota organisasi dalam membedakan organisasi yang satu dengan yang lainnya. Lain halnya dengan Robbins (1996:289); budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, dan merupakan suatu sistem makna bersama.

Mengingat budaya organisasi merupakan suatu kesepakatan bersama para anggota dalam suatu organisasi atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang lebih luas untuk kepentingan perorangan. Keutamaan budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi. Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dengan budaya organisasi dan pada umumnya mereka akan dipengaruhi oleh keaneka ragaman sumber-sumber daya yang ada sebagai stimulus seseorang bertindak

Kartono (1994 :138); mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang muncul pada kelompok-kelompok kerja di perusahaan-perusahaan berasal dari macam-macam sumber, antara lain : dari stratifikasi kelas sosial asal buruh –buruh/pegawai, dari sumber-sumber teknis dan jenis pekerjaan, iklim psikologis perusahaan sendiri yang diciptakan oleh majikan, para direktur dan manajer-manajer yang melatarbelakangi iklim kultur buruh-buruh dalam kelompok kecil-kecil yang informal. Hidayat (2002);
we were all born of human beings and then grew up by social upbringing with culture environment. Since cultures always process plural nation language, tradition and relegion are indispensably diverse.

Molenaar (2002), Kotter dan Heskett (1992); Budaya mempunyai kekuatan yang penuh, berpengaruh pada individu dan kinerjanya bahkan terhadap lingkungan kerja. Buchanan dan Huczyski (1997:518); elemen-elemen budaya organisasi atau perusahaan adalah nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, pendapat-pendapat, sikap-sikap dan norma-norma.

Berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang tentunya berbeda-beda dalam bentuk perilakunya. Dalam organisasi implementasi budaya dirupakan dalam bentuk perilaku artinya perilaku individu dalam organisasi akan diwarnai oleh budaya organisasi yang bersangkutan. Arnold dan Feldman (1986:24); perilaku individu berkenaan dengan tindakan yang nyata dilakukan oleh seseorang dapat diartikan bahwa dalam melakukan tindakan seseorang pasti akan tidak terlepas dari perilakunya.
Baca Selengkapnya....

Kamis, Januari 14, 2010

JOB SATISFACTION


Kepuasan kerja atau job satisfaction adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaannya (Handoko, 1992; 193). Kepuasan kerja merupakan cerminan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya. Hal ini tampak dalam sikap positif pekerja terhadap pekerjaan yang dihadapi dan lingkungannya. Sebaliknya, karyawan yang tidak puas akan bersikap negatif terhadap pekerjaan dan bentuk yang berbeda – beda satu dengan yang lainnya. Adanya ketidakpuasan kerja karyawan seharusnya dapat dideteksi oleh perusahaan.

Menurut Muchinsky (1997 ; 424), variabel-variabel yang dapat dijadikan indikasi menurunnya kepuasan kerja adalah absenteeism, turnover, and job performance.Mengutip pendapat tersebut As’ad (1995 ; 103) menjelaskan bahwa variabel yang dapat dijadikan indikasi menurunnya kepuasan kerja adalah tingginya tingkat absensi (absenteeism), tingginya keluar masuknya karyawan (turnover), menurunnya produktivitas kerja atau prestasi kerja karyawan (performance). Apabila indikasi menurunnya kepuasan kerja karyawan tersebut muncul kepermukaan, maka hendaknya segera ditangani supaya tidak merugikan perusahaan.

Mengacu pada pendapat Handoko (1992; 167) dan As’ad (1995;105), Nimran (1998 ; 36) bahwa dampak kepuasan kerja perlu dipantau dengan mengaitkannya pada output yang dihasilkan, yaitu produktivitas kerja menurun, turn over meningkat, dan efektivitas lainnya seperti menurunnya kesehatan fisik mental, berkurangnya kemampuan mempelajari pekerjaan baru, dan tingginya tingkat kecelakaan.

Untuk mengetahui indikator apa saja yang mempengaruhi kepuasan kerja, menurut Luthans (1997; 431) terdiri dari atas lima indikator, yaitu: (1) Pembayaran, seperti gaji dan upah. Karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapannya. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar pengupahan komunitas kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan; (2) Pekerjaan itu sendiri. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi kesempatan untuk mengunakan kemampuan dan ketrampilannya, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja lebih menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang juga dapat menciptakan frustasi dan perasaan gagal; (3) Rekan kerja. Bagi kebanyakan karyawan kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat; (4) Promosi pekerjaan. Promosi terjadi pada saat seorang karyawan berpindah dari suatu pekerjaan ke posisi lainnya yang lebih tinggi, dengan tanggung jawab dan jenjang organisasionalnya. Pada saat dipromosikan karyawan umumnya menghadapi peningkatan tuntutan dan keahlian, kemampuan dan tanggung jawab. Sebagian besar karyawan merasa positif karena dipromosikan. Promosi memungkinkan perusahaan untuk mendayagunakan kemampuan dan keahlian karyawan setinggi mungkin; (5) Kepenyeliaan (supervisi). Supervisi mempunyai peran yang penting dalam manajemen. Supervisi berhubungan dengan karyawan secara langsung dan mempengaruhi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Umumnya karyawan lebih suka mempunyai supervisi yang adil, terbuka dan mau bekerjasama dengan bawahan.
Baca Selengkapnya....