PARIWARA

Your Ad Here

Selasa, Juli 20, 2010

INDIKATOR KEMISKINAN

Kemiskinan dalam sebuah masyarakat bukanlah perkara yang mudah untuk dinilai (assessed). Perkara ini muncul sejak tahun 1970an, ketika para pakar ekonomika mendapat kritikan tajam karena ’terlalu memuja’ pendapatan (income) per kapita (GDP per kapita) sebagai indikator kemiskinan. GDP adalah kependekan dari Gross Domestic Product, yang mencerminkan kemampuan penduduk dalam wilayah/negara tertentu untuk menghasilkan income. Ia diindonesiakan menjadi PDB (= Produk Domestik Bruto).

Semakin kecil GDP per kapita yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, maka semakin miskin masyarakat itu. Kritikan tajam yang dialamatkan kepada pemuja GDP ini kemudian dijawab dengan memasukkan aspek harga lokal ke dalam GDP sehingga menjadi purchasing power adjusted real GDP. Pentransformasian GDP per kapita sehingga mencerminkan daya beli ini akan membuat GDP suatu wilayah menjadi fair jika dibandingkan dengan GDP wilayah (atau negara) lain.

GDP per kapita berdasarkan daya beli ini tidaklah serta-merta kemudian diratifikasi oleh semua sarjana. Indikator ini dianggap ’sangat ekonomi’ sehingga tidak memberikan ruang bagi sarjana-sarjana nonekonomi untuk berbicara tentang kemiskinan. Indikator ini dikatakan hanya mencerminkan kuantitas, dan tidak berbicara tentang kualitas hidup masyarakat. Dari sini kemudian lahir indikator alternatif untuk mengukur kemiskinan, yaitu Physical Quality of Life Index (PQLI) atau lebih dikenal sebagai basic need approach. PQLI adalah sebuah indikator kesejahteraan yang mempertimbangkan kecukupan sandang, kecukupan pangan, dan ketersedian papan. Cerita tentang perkembangan indikator kemiskinan belum berakhir. Ketika kita mengamati dan kemudian harus menjelaskan kemiskinan berdasarkan tingkat pendapatan uangnya, kecukupan sandang, pangan, dan kecukupan papan, kita kemudian disadari atau tidak-akan segera mengaitkan ’apa yang terlihat’ dengan anugerah-anugerah lainnya yang bersifat non-uang (non-ekonomi murni) dan non-fisik seperti kesehatan dan pendidikan.

Bank Dunia (UNDP) dalam sebuah laporannya tahun 1990, memperkenalkan Human Development Index (HDI). HDI ini kemudian diindonesiakan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun ke atas (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lamanya sekolah (dengan bobot sepertiga); dan tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan Purchasing Power Parity (PPP rupiah). Pembangunan manusia yang berhasil akan membuat usia rata-rata masyarakatnya meningkat; juga ditandai dengan peningkatan pengetahuan yang bermuara pada peningkatan kualitas SDM. Pencapaian dua hal itu selanjutnya akan meningkatkan produktivitas sehingga pada akhirnya akan meningkatkan mutu hidup dalam arti hidup layak (Meier, 1995:7-32).

Uraian di atas menegaskan bahwa pendapatan masyarakat atau GDP, bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan bukan lagi melulu bersangkut-paut dengan uang nominal yang diterima sebagai pendapatan (income). Ia tidak juga berbicara tentang ketersediaan sandang, pangan, papan. Ia harus pula mempertimbangkan aspek pendidikan dan aspek kesehatan.

Usaha untuk menangkap semua indikator kemiskinan yang dicontohkan di atas tentunya bukanlah tanpa tantangan. Tantangan berikutnya yang segera menghadang adalah bagaimana mengukur kemiskinan dan sejauhmana ketersediaan data kemiskinan. Meskipun demikian, studi ini “should not prevent us from making use of whatever data may be easily available already” (Sen, 1985:73). Konsekuensi dari kemiskinan adalah tidak adanya pilihan bagi penduduk miskin (poverty giving most people no option) untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar, misalkan (1) kebutuhan pendidikan; (2) kesehatan; dan (3) kebutuhan ekonomi-kepemilikan alat-alat produksi yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan.

Kondisi demikian menimbulkan rangkaian-rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain, sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Nurkse (dalam Sukirno, 1981:218) mengatakan bahwa suatu negara adalah miskin karena memang miskin (a country is poor because it is poor). Ia menjelaskannya dengan konsep lingkaran ‘setan’ kemiskinan atau lebih dikenal sebagai vicious circles of poverty.

Lingkaran setan kemiskinan ini disebabkan oleh keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terciptanya tingkat pembentukan modal. Sedangkan pembentukan modal diperoleh dari tingkat tabungan. Ada dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan, yaitu dari sisi penawaran dan permintaan modal. Pertama, penawaran modal. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah diakibatkan oleh produktivitas rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung rendah. Pada akhirnya, tingkat pembentukan modal juga rendah. Efek dari pembentukan modal rendah adalah negara menghadapi kekurangan barang modal, implikasinya tingkat produktivitas tetap rendah. Kedua, permintaan modal. Di negara miskin keinginan untuk menanamkan modal rendah. Hal ini lebih disebabkan luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas. Di samping itu, pendapatan masyarakat juga rendah yang diakibatkan produktivitas mereka rendah.

0 komentar:

Posting Komentar