PARIWARA

Your Ad Here

Selasa, Agustus 31, 2010

KEADILAN KOMPENSASI

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa karyawan yang mempunyai keterampilan lebih tinggi, akan menuntut kompensasi yang lebih tinggi pula. Namun yang menjadi persoalan adalah kompensasi yang bagaimana yang harus diberikan, sehingga karyawan yang mempunyai keterampilan tinggi merasa lebih dihargai daripada yang mempunyai keterampilan lebih rendah.

Konsep keadilan mengacu pada berapa kompensasi yang diyakini karyawan pantas ia dapatkan dalam hubungannya dengan berapa kompensasi yang pantas didapatkan oleh orang lain. Seorang karyawan cenderung menentukan berapa besar kompensasi yang pantas diperolehnya atau yang orang lain peroleh dengan membandingkan antara yang telah mereka berikan kepada perusahaan dan apa yang telah mereka dapatkan dari perusahaan. Jika menurut mereka tukar menukar ini adil atau sebanding, mereka mungkin akan merasa puas. Namun jika mereka menganggapnya tidak adil, mereka mungkin akan merasa tidak puas (Schuler dan Jackson, 1999).

Sedangkan menurut Siagian (1995), mengenai keadilan dapat dinilai dari tiga faktor pembanding, yaitu diri sendiri, sistem yang berlaku dan orang lain. Memang menggunakan diri sendiri sebagai faktor pembanding merupakan cara yang subyektif, karena tujuan, harapan, cita-cita dan persepsi sendiri tentang berbagai jenis kebutuhanlah yang menjadi kriteria. Meskipun demikian, pimpinan perusahaan perlu juga mempertimbangkan persepsi seorang karyawan mengenai dirinya sendiri, karena kemungkinan persepsi karyawan tentang dirinya sendiri mengandung suatu kebenaran juga.

Persepsi tentang keadilan juga dibandingkan dengan sistem pemberian kompensasi yang berlaku, yang dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, sistem yang berlaku dalam perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja. Mengenai sistem yang berlaku dalam perusahaan, biasanya karyawan ingin mengetahui apakah sistem pemberian kompensasi yang berlaku sudah didasarkan pada kewajaran, sudah dikaitkan dengan beratnya tanggung jawab, sifat pekerjaan, pendapat pekerja dan kemampuan organisasi yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kewajaran ialah besarnya kompensasi yang memungkinkan karyawan hidup secara manusiawi sesuai dengan harkat, martabat dan tingkatan masing-masing. Sebagaimana diketahui, bahwa UMR (upah minimum regional) juga disusun berdasarkan pada pertimbangan kewajaran ini, sehingga dengan adanya kompensasi sebesar UMR diharapkan para karyawan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara wajar, tidak berlebih, namun juga tidak kekurangan.

Kaitan dengan beratnya tanggung jawab karyawan, juga sangat penting untuk mendapatkan perhatian. Adalah suatu hal yang wajar apabila seorang karyawan yang dibebani tanggung jawab besar memperoleh kompensasi yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan lain yang tanggung jawabnya lebih ringan.

Dalam kaitannya dengan sifat pekerjaan, maka karyawan yang mengerjakan pekerjaan yang sifatnya rutin, kiranya wajar apabila mendapatkan kompensasi yang lebih rendah dibandingkan karyawan yang membutuhkan daya kognitif, kemampuan intelektual, daya nalar, inovasi serta kreativitas yang tinggi dalam menyelesaikan pekerjaannya. Demikian pula dengan karyawan yang melakukan pekerjaan dengan tingkat risiko yang tinggi tentunya akan mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi pula dibandingkan karyawan yang melakukan pekerjaan dengan risiko rendah, misalnya untuk karyawan yang bekerja di perusahaan penambangan, atau di laboratorium nuklir.

Berkaitan dengan pendapat pekerja, biasanya dalam praktek manajemen yang baik, untuk menentukan sistem kompensasi pimpinan perusahaan mendengar pendapat para pekerja yang terdapat di dalam perusahaannya, yang biasanya disampaikan oleh para wakilnya yang duduk dalam pengurus serikat pekerja. Walaupun pimpinan suatu perusahaan tidak selalu menerima dan menerapkan pendapat para pekerja tersebut, namun secara psikologis hal tersebut sangat penting bagi karyawan. Karyawan merasa pendapatnya dihargai dan bagi pimpinan perusahaan akan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan para karyawannya dengan lebih tepat. Sebaliknya, pada kesempatan itu pula pihak pimpinan perusahaan akan lebih mudah menjelaskan posisi perusahaan pada saat tersebut, terutama yang menyangkut posisi finansialnya.

Berkaitan dengan kemampuan organisasi, bukan hal yang mustahil jika para karyawan mempunyai persepsi yang tidak tepat mengenai kemampuan finansial perusahaan. Misalnya karyawan menilai bahwa perusahaan sebenarnya mampu untuk memberikan peningkatan kompensasi yang lebih besar lagi kepada para karyawan, karena keuntungan yang diperoleh selama ini cukup besar untuk hal tersebut. Para karyawan tentunya beranggapan, bahwa keuntungan yang besar tersebut juga merupakan hasil jerih payah mereka juga, sehingga wajar apabila menuntut diberikan peningkatan kompensasi yang lebih besar lagi. Namun demikian, bisa saja pihak perusahaan mempunyai suatu rencana untuk melakukan ekspansi atau melakukan modernisasi dengan melakukan pembelian peralatan baru, sehingga tidak semua keuntungan dibagikan kepada para karyawannya. Perbedaan persepsi tersebut perlu dihilangkan, dan salah satu upaya untuk menghilangkannya adalah dengan memberikan penjelasan kepada para karyawan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada kenyataannya, kondisi ini sangat sulit diterapkan pada perusahaan-perusahaan di sini, hal ini disebabkan karena pihak perusahaan tidak transparan dalam memberikan penjelasan mengenai kemampuan finansialnya kepada karyawan, sebaliknya pihak karyawan terkadang terlalu menuntut dan memaksakan kehendaknya karena tidak mempercayai penjelasan pimpinan maupun pemilik perusahaan.

Kedua, sistem yang berlaku pada perusahaan lain yang sejenis. Dengan menggunakan sistem yang berlaku sebagai kerangka acuan, karyawan biasanya juga membandingkan sistem pembayaran kompensasi tempat ia bekerja dengan sistem yang berlaku di perusahaan lain di kawasan yang sama, terutama dengan perusahaan yang menjalankan kegiatan bisnis sejenis. Apabila menurut persepsi karyawan sistem yang berlaku di perusahaan tempat ia bekerja sebanding dengan sistem yang berlaku di perusahaan lain yang sejenis, sangat dimungkinkan karyawan merasa puas; demikian pula apabila yang terjadi sebaliknya.

Ketiga, sistem yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, biasanya pemerintah telah menetapkan standar. Para karyawan menggunakan standar tersebut sebagai pembanding untuk melihat apakah perusahaan tempat mereka bekerja telah melaksanakan ketentuan tersebut, misalnya peraturan mengenai upah minimum regional (UMR).

Selain itu, seorang karyawan juga membandingkan kompensasi yang diterimanya dengan yang diterima karyawan lain. Mereka berpendapat, bahwa secara obyektif seharusnya semua karyawan yang berada pada tingkat yang sama dengan pekerjaan yang sama akan mendapatkan kompensasi yang besarnya sama pula. Apabila ternyata terjadi perbedaan, karena adanya pertimbangan subyektif maupun diskriminatif, maka karyawan akan merasa tidak puas.
Baca Selengkapnya....

Selasa, Agustus 24, 2010

Hubungan Kompensasi dengan Peningkatan Kinerja Karyawan

Berbicara tentang kebijakan pemberian kompensasi, umumnya hanya tertuju pada jumlah yang dibayarkan kepada karyawan. Apabila jumlah kompensasi telah cukup memadai, berarti sudah cukup layak dan baik. Permasalahannya sebenarnya tidak sesederhana itu, sebab cukup memadai menurut kacamata perusahaan, belum tentu dirasakan cukup oleh karyawan yang bersangkutan. Menurut Nitisemito (1996) pengaruh kompensasi terhadap karyawan sangatlah besar. Semangat kerja yang tinggi, keresahan dan loyalitas karyawan banyak dipengaruhi oleh besarnya kompensasi. Pada umumnya, pemogokan kerja yang sering terjadi di negara kita ini, sebagian besar disebabkan karena masalah upah.


Pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan, sebenarnya dalam kondisi tertentu dapat meningkatkan kinerja karyawan, disamping dapat pula membuat karyawan frustasi. Bagi karyawan yang memang memiliki keterampilan yang dapat diandalkan, maka pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan akan dapat meningkatkan kinerja, sebaliknya bagi karyawan yang tidak memiliki keterampilan dan tidak mempunyai kemampuan untuk meningkatkan keterampilannya, maka sistem pemberian kompensasi ini dapat mengakibatkan frustasi.

Dikaitkan dengan teori pengharapan, maka pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan akan memotivasi karyawan, sebab dalam teori pengharapan dikatakan bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerahkan usahanya dengan lebih baik lagi apabila karyawan merasa yakin, bahwa usahanya akan menghasilkan penilaian prestasi yang baik. Penilaian yang baik akan diwujudkan dengan penghargaan dari perusahaan seperti pemberian bonus, peningkatan gaji atau promosi dan penghargaan itu dapat memuaskan karyawan.

Jadi dalam teori pengharapan terdapat tiga hubungan, yaitu hubungan antara usaha dengan prestasi, hubungan prestasi dengan penghargaan perusahaan dan hubungan antara penghargaan perusahaan dengan tujuan karyawan. Apabila penghargaan yang diberikan oleh perusahaan sesuai dengan pengharapan dan dapat memuaskan kebutuhannya, maka karyawan tersebut akan termotivasi untuk lebih meningkatkan usaha/kinerjanya, sebaliknya apabila usaha yang dilakukan tidak mendapat penghargaan sesuai dengan harapan karyawan, maka karyawan yang bersangkutan akan merasa frustasi, sehingga tidak termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya.

Menurut Robbins (2001), kompensasi berdasarkan keterampilan adalah sesuai dengan teori ERG (Existence, Relatedness and Growth theory) dari Alderfer, sebab system pembayaran ini dapat mendorong karyawan untuk belajar, meningkatkan keterampilannya dan memelihara keterampilannya. Hal ini dapat diartikan, bahwa bagi karyawan yang ingin memenuhi kebutuhannya dengan lebih baik, maka pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan akan menjadi pendorong baginya untuk lebih meningkatkan keterampilan, agar memperoleh kompensasi yang lebih tinggi, sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi.

Dikaitkan dengan teori kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement theory), pemberian kompensasi berdasarkan keterampilan juga sesuai, sebab sistem pembayaran kompensasi ini dapat akan mendorong karyawan untuk bekerja lebih efisien, mau mempelajari keterampilan yang baru atau berusaha meningkatkan keterampilannya, sehingga siap menghadapi tantangan baru. Hal ini cukup jelas, sebab mempelajari keterampilan baru merupakan tantangan tersendiri bagi seseorang yang ingin maju. Apabila tantangan ini dapat dilampaui, maka akan timbul rasa bangga bagi yang bersangkutan, kebanggaan bukan hanya karena prestasi yang meningkat, namun karena penghargaan yang diterima juga meningkat dan memuaskan bagi dirinya.

Dalam kaitannya dengan teori penguatan (reinforcement theory), pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan akan mendorong karyawan untuk belajar secara kontinyu, mengembangkan keterampilannya, dan dapat bekerja sama dengan anggota lain dalam perusahaan. Semakin berkembang keterampilan yang dimiliki, maka akan semakin besar pula kompensasi yang akan diterimanya.

Sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan juga sesuai dengan teori keadilan (equity theory) yang membandingkan antara prestasi yang dicapai dengan kompensasi atau penghargaan yang diberikan oleh perusahaan. Apabila prestasi karyawan sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh perusahaan, maka motivasi karyawan untuk meningkatkan kinerjanya dapat dioptimalkan. Jadi dengan kata lain, bila kompensasi yang diberikan sesuai dengan keadilan dan harapan karyawan, maka karyawan akan merasa puas dan termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya.

Pada kenyataannya, sebagian besar perusahaan yang ada disini masih kurang menghargai keterampilan dan kemampuan seseorang, sehingga sering dijumpai pemberian kompensasi didasarkan pada senioritas bukan pada kemampuan seorang karyawan untuk mengembangkan keterampilan yang dimilikinya. Kondisi ini dapat mengakibatkan karyawan menjadi apatis dan tidak termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, sebab peningkatan keterampilan tidak diimbangi dengan peningkatan kompensasi. Sebaliknya, kompensasi akan naik dengan sendirinya tanpa perlu meningkatkan keterampilan. Hanya waktu yang dapat meningkatkan besarnya kompensasi, sehingga apabila kompensasi ditingkatkan, karyawan hanya termotivasi untuk sementara waktu, setelah itu kinerjanya akan kembali seperti semula. Hal ini merupakan salah satu sebab yang mengakibatkan perusahaan sulit untuk meningkatkan produktivitas maupun kualitas produknya, sehingga sulit untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang kompetitif.

Agar karyawan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, sebaiknya perusahaan menggunakan keterampilan sebagai dasar perhitungan kompensasi. Kepada karyawan juga perlu dijelaskan bahwa kompensasi yang diberikan, dihitung berdasarkan keterampilan dan kemampuan mereka dalam mengembangkan keterampilannya untuk menunjang penyelesaian tugas yang dibebankan kepadanya. Sebagaimana dicontohkan di depan, apabila karyawan tata usaha mampu mengetik menggunakan mesin ketik manual maupun elektrik dengan hasil yang memuaskan, seharusnya dibayar lebih tinggi daripada yang hanya mampu menggunakan mesin ketik manual saja. Demikian pula bagi yang telah mampu mengoperasikan komputer dengan terampil, seharusnya dinilai lebih daripada yang lain.
Baca Selengkapnya....

Kamis, Agustus 19, 2010

KOMPENSASI BERDASARKAN KETERAMPILAN

Para akademisi dan konsultan menegaskan bahwa pembayaran kompensasi berdasarkan jabatan dapat dengan mudah disalahgunakan dan sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan pada dewasa ini. Menurut Bridges (1994), Murlis dan Fitt (1991) dalam Schuler dan Jackson (1999), pendekatan-pendekatan kompensasi berdasarkan jabatan yang konvensional: (1) mendukung organisasi hierarkis kaku yang menekan motivasi serta kreativitas karyawan, (2) beranggapan bahwa orang adalah komoditas yang dapat dibentuk untuk “cocok dengan” peran-peran yang telah ditentukan, (3) tidak cocok untuk organisasi yang lebih ramping saat ini, dimana tim-tim kecil dan fleksibel yang terdiri dari orang-orang dengan aneka keterampilan secara ekonomis lebih masuk akal daripada sejumlah individu dengan satu keterampilan, (4) tidak cocok dalam sektor jasa, dimana keberhasilan masa depan terletak pada pengetahuan yang dimiliki pekerja ketimbang jabatan yang diberikan kepada mereka.

Menurut Lawler (1983), alasan digunakannya keterampilan sebagai dasar perhitungan kompensasi adalah karena (a) karyawan yang berkemampuan tinggi atau yang mampu mengembangkan keterampilannya dapat menerima kompensasi yang lebih tinggi, walaupun jabatannya tetap. (b) nilai individu akan lebih tersorot daripada nilai pekerjaan yang dilakukannya. Karyawan yang memiliki kemampuan dan keterampilan tentu akan tertarik pada perusahaan yang memberikan kompensasi berdasarkan kemampuan dan keterampilan, sebab pada umumnya karyawan yang mempunyai keterampilan lebih, mengharapkan kompensasi yang lebih banyak pula.
Perusahaan yang ingin mempertahankan karyawan yang berprestasi baik, maka harus berani memberikan kompensasi yang lebih besar daripada karyawan yang tidak atau kurang berprestasi. Apabila perusahaan tidak melakukan hal ini, maka karyawan yang berprestasi baik, yang seharusnya dipertahankan oleh perusahaan, akan meninggalkan perusahaan. Mereka yakin akan bisa memperoleh kompensasi yang lebih baik di tempat lainnya atau di perusahaan lainnya. Hal ini berarti hanya karyawan yang tidak atau kurang berprestasi yang akan tetap bertahan di perusahaan, kondisi ini tentunya akan berdampak negatif bagi perusahaan.
Sudah sewajarnya apabila karyawan yang memiliki keterampilan dan pengetahuan lebih banyak adalah lebih bernilai dan harus dibayar menurut kemampuannya, bukan menurut tugas jabatan. Dalam job-based pay, maka besarnya kompensasi yang diterima oleh karyawan dikaitkan dengan jabatan atau pekerjaannya, tanpa memperhatikan apakah karyawan mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut secara efektif.
Dalam sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan, tingkat pembayaran kompensasi awal bagi semua karyawan adalah sama. Apabila terjadi peningkatan keterampilan, maka masing-masing keterampilan baru yang mereka miliki dihargai satu tingkat lebih tinggi. Jadi kompensasi hanya akan mengalami kenaikan setelah karyawan memperlihatkan kemampuannya dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan sistem kompensasi berdasarkan pekerjaan atau jabatan, kenaikan pembayaran akan terjadi secara otomatis, biasanya pada interval waktu tertentu atau apabila terjadi peningkatan jabatan. Pada kenyataannya, masih banyak perusahaan yang memperhatikan jabatan seseorang bukan pada kemampuan yang bersangkutan untuk mengembangkan keterampilannya. Secara sederhana keadaan ini dapat dijumpai pada bagian administrasi atau tata usaha suatu perusahaan.
Bagi tenaga administrasi yang mampu menggunakan mesin ketik elektrik atau komputer akan mendapatkan gaji yang sama dengan tenaga administrasi yang hanya mampu menggunakan mesin ketik manual, dan kenaikan gaji diberikan secara otomatis setelah kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun, dengan jumlah yang sama pula. Hal ini disebabkan karena masih banyak perusahaan yang lebih menghargai jabatan, dibanding kemampuan karyawan untuk mengembangkan keterampilannya, sehingga pemberian kompensasi juga didasarkan pada jabatan atau pekerjaannya dan bukan pada pengembangan keterampilan karyawan.
Perbedaan lain antara sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan dengan sistem kompensasi berdasarkan pekerjaan atau jabatan adalah berkaitan dengan senioritas. Secara tradisional, senioritas atau lamanya bekerja di tingkat tertentu memainkan peran besar, sehingga lebih lama dalam jabatan diasumsikan lebih berpengalaman sehingga cocok untuk mendapatkan nilai yang lebih besar. Dengan sistem berdasarkan keterampilan, nilai lebih menyatu pada keterampilan daripada jabatan.
Selain itu, peluang promosi bagi karyawan yang mempunyai keterampilan juga lebih besar, karena lebih mudah bagi karyawan yang memiliki keterampilan untuk dipromosikan atau pindah dari satu pekerjaan kepada pekerjaan yang lain. Berkaitan dengan senioritas, kondisi ini masih banyak dijumpai pada perusahaan maupun instansi di sini. Semakin lama seseorang bekerja pada suatu perusahaan, maka akan semakin tinggi kompensasi yang diterimanya, hal ini disebabkan karena peningkatan kompensasi diberikan secara otomatis dalam kurun waktu tertentu, sehingga sangat sulit bagi karyawan yunior untuk mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi dibanding karyawan yang senior, walaupun karyawan yunior mempunyai kemampuan dan keterampilan yang lebih baik dibandingkan karyawan senior tersebut.
Menurut Dessler (2000) terdapat empat perbedaan antara kompensasi berdasarkan keterampilan (skill-based pay) dan kompensasi berdasarkan pekerjaan atau jabatan (job based pay) yaitu: tes kompetensi, efek perubahan jabatan, senioritas, dan peluang promosi. Dalam Schuler dan Jackson (1999) diperinci sembilan perbedaan antara sistem pembayaran kompensasi berdasarkan keterampilan dan berdasarkan jabatan.
Baca Selengkapnya....

Senin, Agustus 09, 2010

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1430 H

Allahumma bariklanaa fii rajab wa sya’ban wa balighna fii ramadhan ! Marhaban ya Ramadhan 1430 H jelang tiba bulan yang penuh Rahmat dan Maghfirah, bersihkan hati untuk meraih keridhoan ALLAH SWT dalam mencapai derajat Muttaqin. Mohon maaf lahir dan batin atas segala salah dan khilaf !
Baca Selengkapnya....

Sabtu, Agustus 07, 2010

KOMPENSASI BERDASARKAN JABATAN ATAU PEKERJAAN

Ada tiga komponen kunci untuk mengembangkan rencana kompensasi berdasarkan jabatan. Pertama, mewujudkan keadilan internal melalui evaluasi jabatan; kedua, mewujudkan keadilan eksternal melalui survei pasar; dan ketiga, mencapai keadilan individu (Gomez-Mejia, et al., 1995).

Metode evaluasi jabatan memusatkan diri pada jabatan sebagai unit kepentingan. Beberapa metode mengevaluasi jabatan secara keseluruhan, sedangkan beberapa lainnya menggunakan faktor-faktor yang dapat dikompensasi. Metode evaluasi jabatan yang sudah sangat populer dipakai untuk mengevaluasi posisi eksekutif, manajer dan professional maupun posisi teknik, administrasi dan manufaktur adalah metode Hay Guide Chart-Profile . Secara operasional, sistem ini mengandalkan tiga faktor utama yang bisa dikompensasi, yaitu pemecahan masalah (problem solving), kecakapan (know how) dan pertanggungjawaban (accountability). Menurut metode ini, faktor-faktor yang penting mempunyai nilai tinggi, sedangkan faktor-faktor yang kurang penting mempunyai nilai yang lebih rendah. Evaluasi jabatan ini hanya untuk internal perusahaan bukan untuk menghitung tingkat upah di pasar atau perusahaan lain. Selain itu evaluasi jabatan ini hanya fokus pada nilai tugas masing-masing jabatan, bukan pada orang yang melaksanakannya (Schuler dan Jackson, 1999; Gomez-Mejia et al., 1995).

Untuk mencapai keadilan eksternal, perusahaan harus melakukan survei pasar. Dalam hal ini perusahaan dapat menjalankan sendiri survei tersebut atau membeli dari konsultan. Dari hasil survei ini, perusahaan dapat membuat kebijakan pembayaran kompensasi, apakah akan membayar lebih tinggi, lebih rendah atau mengikuti pasar. Dasar pemikiran untuk membayar lebih tinggi adalah memaksimalkan kemampuan perusahaan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berkualitas dan untuk meminimalkan ketidakpuasan karyawan terhadap kompensasi. Kebijakan untuk membayar lebih rendah dari pasar akan mengakibatkan perusahaan terhalang dalam menarik karyawan-karyawan yang potensial, sedangkan kebijakan yang lazim dijalankan oleh perusahaan adalah mengimbangi persaingan. Meskipun kebijakan ini tidak memberikan keunggulan kompetitif, namun tidak menyebabkan perusahaan menjadi rugi.

Setelah perusahaan menyelesaikan struktur pembayaran untuk masing-masing jabatan, selanjutnya adalah memberikan kepada masing-masing individu suatu tingkat pembayaran yang sesuai dengan jabatannya. Seringkali perusahaan menggunakan pengalaman sebelumnya dan senioritas untuk menentukan berapa besar kompensasi yang harus dibayarkan kepada karyawannya. Untuk mencapai keadilan individu, maka perusahaan harus menyusun kriteria tingkat pembayaran. Keadilan individu mengarah pada keadilan dalam keputusan pembayaran bagi karyawan yang menempati jabatan yang sama.

Berbicara mengenai jabatan, menurut pendapat penulis masih banyak perusahaan yang menempatkan karyawan pada jabatan yang tidak semestinya, artinya jabatan yang diduduki tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki karyawan yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar perusahaan di sini masih merupakan perusahaan keluarga, sehingga karyawan yang menduduki jabatan tertentu dalam suatu perusahaan adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemilik perusahaan. Menurut pemilik perusahaan mereka adalah orang yang dapat dipercaya, tanpa memperhatikan apakah yang bersangkutan tepat untuk menduduki jabatan tersebut dan mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Hal ini seringkali mengakibatkan karyawan yang berpotensi berada di bawah pimpinan orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan yang memadai. Kondisi ini juga mengakibatkan pemberian kompensasi dirasakan oleh karyawan lain tidak adil. Mereka yang masih ada hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan akan mendapatkan kompensasi yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan lain yang mempunyai kemampuan lebih baik namun tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemilik perusahaan. Jadi dalam hal ini pengaruh pemilik perusahaan sangat besar sekali. Kondisi ini merupakan penghambat, sebab karyawan tidak termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya, bahkan mereka akan cenderung menjauhi perusahaan yang demikian, apabila ada peluang untuk pindah ke perusahaan lain.
Baca Selengkapnya....

Selasa, Agustus 03, 2010

HARAPAN KARYAWAN TERHADAP KOMPENSASI

Menurut Schuler dan Jackson (1999), biasanya orang akan membandingkan besarnya kompensasi yang diterimanya dengan jumlah yang mereka yakini semestinya mereka terima. Mereka akan puas apabila tingkat kompensasi “yang semestinya” sebanding dengan tingkat kompensasi aktual, atau tidak puas apabila tingkat kompensasi aktual lebih kecil daripada tingkat kompensasi “yang semestinya”. Sedangkan Siagian (1995) menyebut tingkat kompensasi ini dengan istilah harapan.

Mengenai harapan, dapat dikatakan bahwa setiap karyawan dalam pikirannya sudah mempunyai gambaran atau mungkin bahkan keputusan tentang jumlah kompensasi yang layak diterimanya berdasarkan pertimbangan pendidikan, pengetahuan, keterampilan, sifat pekerjaan, besarnya tanggung jawab, dan besarnya wewenang. Disamping itu, harapan biasanya juga dikaitkan dengan kebutuhan ekonomisnya, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, perumahan, biaya pendidikan anak, jumlah tanggungan dan status sosialnya di masyarakat. Jadi, harapan didasarkan pada keinginan karyawan agar kompensasi yang diterima dari perusahaan memungkinkannya untuk memuaskan berbagai kebutuhannya secara wajar. Apabila kompensasi yang diterima ternyata tidak sesuai dengan harapannya, maka karyawan menjadi tidak puas.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kepuasan akan tercapai apabila pemberian kompensasi dirasakan adil dan sesuai dengan harapan karyawan. Jadi jika perusahaan ingin menarik karyawan baru dan mempertahankan karyawan yang potensial dan mempunyai keterampilan, maka kompensasi yang ditawarkan seharusnya kurang lebih sama dengan karyawan lainnya dalam perusahaan yang setara-dengan kata lain ada keadilan eksternal. Apabila sistem kompensasi didasarkan pada kinerja, maka harus disertai dengan metode pengukuran kinerja karyawan yang akurat dan terbuka, sehingga karyawan secara jelas dapat melihat hubungan kinerja dengan kompensasi. Tingkat kompensasi juga harus ditinjau kembali secara terus menerus dan diperbaharui jika perlu. Kepercayaan dan konsistensi harus dipelihara, sehingga karyawan dapat merasakan bahwa perusahaan memperhatikan kepentingan karyawan dan juga kepentingan perusahaan sendiri.
Baca Selengkapnya....