PARIWARA

Your Ad Here

Rabu, Juli 28, 2010

SOLUSI PENGENTASAN KEMISKINAN

Pernyataan “a country is poor because it is poor” sungguh sangat menyedihkan. Sebuah pernyataan yang tidak berujung pangkal bahwa ia miskin karena tidak punya apa-apa, dan tidak punya apa-apa menyebabkan ia menderita kemiskinan. Ada beberapa solusi untuk ‘memotong’ lingkaran setan kemiskinan di Indonesia, yaitu:

Menggali Potensi Kekayaan Alam. Indonesia dikenal luas memiliki kekayaan alam yang sangat potensial. Lautannya yang penuh dengan berbagai macam spesies ikan, daratannya yang kaya dengan hasil-hasil hutan, dan perut buminya yang penuh dengan sumberdaya energi dan mineral. Apakah eksplorasi kekayaan alam dapat secara langsung ‘menyentuh’ masyarakat miskin? Jawabannya mungkin“Tidak,” kecuali penggalian potensi kekayaan laut yang dapat secara langsung melibatkan masyarakat miskin di daerah pesisir. Sulit sekali untuk mengatakan bahwa penggalian potensi hutan dan perut bumi dapat menyentuh langsung masyarakat miskin. Pemanfaatan hasil hutan dan perut bumi mensyaratkan modal besar—yang jelas-jelas tidak dimiliki oleh kaum miskin.

Meningkatkan Produktivitas Kerja. Dalam konteks masyarakat miskin di sektor pertanian, produktivitas mengacu kepada bagaimana meningkatkan hasil usahatani. Upaya ini bisa dilakukan oleh pemerintah, misalkan, dengan mendorong para petani untuk melakukan mekanisasi dalam pemrosesan lahan pertanian, atau dengan membangun sarana/prasarana (sistem irigasi, misalkan) untuk menunjang lahan pertanian. Upaya ini tentu dapat meningkatkan hasil tani, tetapi ia sangat sektoral yang hanya menyentuh pemilik lahan pertanian. Lebih dari itu, upaya ini tidak menyentuh langsung buruh tani dan/atau masyarakat miskin perdesaan yang tidak mempunyai lahan.

Menggiatkan Masyarakat untuk Menabung. Tabungan (saving) dapat dimaknai, dalam arti sempit, sebagai bagian dari pendapatan uang yang pembelanjaannya disimpan/ditunda sampai di kemudian hari. Jika tabungan disimpan dalam sebuah bank, maka ia dapat menciptakan pendapatan bagi pihak lain. Dalam sistem perbankan, tabungan atas nama pihak deposan menjadi dana bank untuk disalurkan kepada pihak debitur dalam bentuk kredit. Jika kredit ini dipakai oleh debitur untuk membiayai kegiatan usaha produktifnya, maka ia bisa menciptakan keuntungan bagi debitur dan memberikan pendapatan bagi para tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan usaha itu. Masalahnya adalah bahwa masyarakat miskin, dari definisinya, tidak mempunyai sisa pendapatan untuk ditabung. Memikirkan uang untuk dibelanjakan hari ini saja sudah setengah mati, apalagi memikirkan uang untuk ditabung. Kalaupun mereka ingin mengakses dana pinjaman dari bank, mereka akan terbentur oleh kolateral. Mereka tidak mempunyai tabungan karena miskin, dan tidak dapat meminjam dana bank karena miskin pula.

Memberikan Pinjaman untuk Modal Usaha. Tidak adanya pembentukan modal dalam masyarakat perdesaan bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka masih belum memahami manfaat dan arti pentingnya lembaga keuangan dalam memobilisasi dana-dana tabungan. Sebagai misal, kita sering melihat masyarakat perdesaan menabung dengan cara menyimpan uangnya ‘di bawah bantal,’ memelihara tanah persawahan, memelihara ternak, atau membeli perhiasan. Kedua, mereka ingin memanfaatkan peluang untung dari sebuah usaha produktif yang digagasnya, tetapi mereka dikendalai oleh ketersediaan modal.
Baca Selengkapnya....

Selasa, Juli 20, 2010

INDIKATOR KEMISKINAN

Kemiskinan dalam sebuah masyarakat bukanlah perkara yang mudah untuk dinilai (assessed). Perkara ini muncul sejak tahun 1970an, ketika para pakar ekonomika mendapat kritikan tajam karena ’terlalu memuja’ pendapatan (income) per kapita (GDP per kapita) sebagai indikator kemiskinan. GDP adalah kependekan dari Gross Domestic Product, yang mencerminkan kemampuan penduduk dalam wilayah/negara tertentu untuk menghasilkan income. Ia diindonesiakan menjadi PDB (= Produk Domestik Bruto).

Semakin kecil GDP per kapita yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, maka semakin miskin masyarakat itu. Kritikan tajam yang dialamatkan kepada pemuja GDP ini kemudian dijawab dengan memasukkan aspek harga lokal ke dalam GDP sehingga menjadi purchasing power adjusted real GDP. Pentransformasian GDP per kapita sehingga mencerminkan daya beli ini akan membuat GDP suatu wilayah menjadi fair jika dibandingkan dengan GDP wilayah (atau negara) lain.

GDP per kapita berdasarkan daya beli ini tidaklah serta-merta kemudian diratifikasi oleh semua sarjana. Indikator ini dianggap ’sangat ekonomi’ sehingga tidak memberikan ruang bagi sarjana-sarjana nonekonomi untuk berbicara tentang kemiskinan. Indikator ini dikatakan hanya mencerminkan kuantitas, dan tidak berbicara tentang kualitas hidup masyarakat. Dari sini kemudian lahir indikator alternatif untuk mengukur kemiskinan, yaitu Physical Quality of Life Index (PQLI) atau lebih dikenal sebagai basic need approach. PQLI adalah sebuah indikator kesejahteraan yang mempertimbangkan kecukupan sandang, kecukupan pangan, dan ketersedian papan. Cerita tentang perkembangan indikator kemiskinan belum berakhir. Ketika kita mengamati dan kemudian harus menjelaskan kemiskinan berdasarkan tingkat pendapatan uangnya, kecukupan sandang, pangan, dan kecukupan papan, kita kemudian disadari atau tidak-akan segera mengaitkan ’apa yang terlihat’ dengan anugerah-anugerah lainnya yang bersifat non-uang (non-ekonomi murni) dan non-fisik seperti kesehatan dan pendidikan.

Bank Dunia (UNDP) dalam sebuah laporannya tahun 1990, memperkenalkan Human Development Index (HDI). HDI ini kemudian diindonesiakan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun ke atas (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lamanya sekolah (dengan bobot sepertiga); dan tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan Purchasing Power Parity (PPP rupiah). Pembangunan manusia yang berhasil akan membuat usia rata-rata masyarakatnya meningkat; juga ditandai dengan peningkatan pengetahuan yang bermuara pada peningkatan kualitas SDM. Pencapaian dua hal itu selanjutnya akan meningkatkan produktivitas sehingga pada akhirnya akan meningkatkan mutu hidup dalam arti hidup layak (Meier, 1995:7-32).

Uraian di atas menegaskan bahwa pendapatan masyarakat atau GDP, bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan bukan lagi melulu bersangkut-paut dengan uang nominal yang diterima sebagai pendapatan (income). Ia tidak juga berbicara tentang ketersediaan sandang, pangan, papan. Ia harus pula mempertimbangkan aspek pendidikan dan aspek kesehatan.

Usaha untuk menangkap semua indikator kemiskinan yang dicontohkan di atas tentunya bukanlah tanpa tantangan. Tantangan berikutnya yang segera menghadang adalah bagaimana mengukur kemiskinan dan sejauhmana ketersediaan data kemiskinan. Meskipun demikian, studi ini “should not prevent us from making use of whatever data may be easily available already” (Sen, 1985:73). Konsekuensi dari kemiskinan adalah tidak adanya pilihan bagi penduduk miskin (poverty giving most people no option) untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar, misalkan (1) kebutuhan pendidikan; (2) kesehatan; dan (3) kebutuhan ekonomi-kepemilikan alat-alat produksi yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan.

Kondisi demikian menimbulkan rangkaian-rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain, sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Nurkse (dalam Sukirno, 1981:218) mengatakan bahwa suatu negara adalah miskin karena memang miskin (a country is poor because it is poor). Ia menjelaskannya dengan konsep lingkaran ‘setan’ kemiskinan atau lebih dikenal sebagai vicious circles of poverty.

Lingkaran setan kemiskinan ini disebabkan oleh keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terciptanya tingkat pembentukan modal. Sedangkan pembentukan modal diperoleh dari tingkat tabungan. Ada dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan, yaitu dari sisi penawaran dan permintaan modal. Pertama, penawaran modal. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah diakibatkan oleh produktivitas rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung rendah. Pada akhirnya, tingkat pembentukan modal juga rendah. Efek dari pembentukan modal rendah adalah negara menghadapi kekurangan barang modal, implikasinya tingkat produktivitas tetap rendah. Kedua, permintaan modal. Di negara miskin keinginan untuk menanamkan modal rendah. Hal ini lebih disebabkan luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas. Di samping itu, pendapatan masyarakat juga rendah yang diakibatkan produktivitas mereka rendah.
Baca Selengkapnya....

Rabu, Juli 14, 2010

KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2002) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, loe leve security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan , keterpurukkan, dan ketidakberdayaan.

Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi (Nanga, 2006). Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan BPS pada tahun 1984 yang mencakup data kemiskinan periode 1976-1981. Semenjak itu setiap tiga tahun sekali BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, yaitu pada saat modul konsumsi tersedia. Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut batas miskin atau garis kemiskinan.

Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2100 kalori perhari. Mengacu pada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan energinya sebesar 2100 kalori perhari. Agar seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan (BPS, 1999).

Analisis faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan atau determinan kemiskinan pernah dilakukan oleh Ikhsan (1999). Ikhsan, membagi faktor-faktor determinan kemiskinan menjadi empat kelompok, yaitu modal sumber daya manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik desa. Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempangaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan adalah jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin tinggi pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi.

Variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai perkapita dan kepemilikan asset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, dimana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga.

World Bank (2002) mengkategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah tangga, dan individu. Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan. Indikator pembangunan infrastruktur yang penting adalah saluran irigasi, akses listrik, dan kondisi jalan utama transportasi. Indikator lain dari karakteristik faktor komunitas adalah akses yang sama terhadap usaha atau pekerjaan seperti keberadaan lembaga keuangan dan industri.

Pada tingkat wilayah ada bermacam-macam karakteristik yang mungkin berkaitan dengan kemiskinan. Hubungan dari karakteristik tersebut dengan kemiskinan adalah sesuai dengan kondisi wilayah tersebut. Meskipun demikian, secara umum tingkat kemiskinan akan tinggi di wilayah dengan ciri-ciri sebagai berikut: terpencil secara geografis, sumberdaya yang rendah, curah hujan yang rendah, dan kondisi iklim yang tidak ramah.
Baca Selengkapnya....

Kamis, Juli 08, 2010

KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK WIRAUSAHAWAN

Landau (1982) telah mengusulkan hubungan dari risiko yang dibawa (risk bearing) dengan karakteristik inovasi akan membuat sebuah dasar klasifikasi entrepreneur. Gambler merupakan entrepreneur juga, tetapi selalu mempunyai karakteristik inovasi yang rendah dan risiko besar. Dreamer (pemimpi) adalah entrepreneur yang mempunyai inovasi yang tinggi, tetapi hanya mau menerima risiko yang rendah. Consolidator adalah entrepreneur yang hanya bisa menerima risiko rendah dan karakteristik inovasi yang rendah pula. Entrepreneur adalah seseorang yang mempunyai karakteristik inovasi yang tinggi dan risiko yang dihadapi atau dibawanya juga cukup tinggi.

Kuratko dan Hodgetss (2001) menyebutkan ada 10 karakteristik dari entrepreneur yaitu:
1. Entrepreneur adalah pelaku bukan pemikir
2. Entrepreneur dilahirkan, bukan dibuat atau diciptakan
3. Entrepreeur selalu menjadi penemu/pencipta sesuatu
4. Entrepreneur adalah akademisi dan tidak bisa menyesuaikan dalam masyarakat
5. Entrepreneur harus memenuhi the profile
6. Kebutuhan entrepreneur adalah uang
7. Kebutuhan entrepreneur adalah keberuntungan
8. Ketidaktahuan merupakan kebahagian bagi entrepreneur
9. Entrepreneur menginginkan keberhasilan, tetapi pengalaman menyatakan tingkat kegagalan cukup tinggi
10. Entrepreneur adalah sangat pengambil risiko (gamblers)

Karakteristik ini sangat memberikan pandangan kepada semua pihak bahwa entrepreneur selalu membawa risiko dan inovasi. Pada sisi lain Kao (1991) menyebutkan ada 11 karakteristik entrepreneur yaitu:
1. Total komitmen, penentu, dan melindungi
2. Dorongan untuk mendapatkan dan bertumbuh
3. Orientasi kepada kesempatan dan tujuan
4. Mempunyai inisiatif dan tanggung jawab personal
5. Pemecah persoalan secara terus menerus
6. Memiliki realisme dan dapat bercengkerama (humor)
7. Selalu mencari dan menggunakan umpan balik (feedback)
8. Selalu fokus pada internal
9. Menghitung dan mencari risiko
10. Kebutuhan yang kecil untuk status dan kekuasaan
11. Memiliki integritas dan reliabilitas

Sukardi (1991) menyebutkan ada 9 karakteristik tingkah laku wirausahawan yaitu:
1. Sifat instrumental
2. Sifat prestatif
3. Sifat keluwesan bergaul
4. Sifat kerja keras
5. Sifat keyakinan diri
6. Sifat pengambil risiko
7. Sifat swakendali
8. Sifat inovatif
9. Sifat kemandirian

Menurut Boyd dan Gumpert (1983) bahwa para entrepreneur banyak menemui tekanan setiap inovasi yang dikerjakannya. Sumber tekanan tersebut dapat diidentifikasi dari empat penyebab yaitu: kesepian, terbenam dalam bisnis yang dikerjakan, persoalan-persoalan pegawai, dan kebutuhan akan keberhasilan. Ada lima persoalan penting yang harus dikerjakan agar tekanan tersebut dapat diatasi yaitu:
  1. Membuat networking: kesepian yang dihadapi dilakukan dengan membuat hubungan baik dengan berbagai pihak sehingga bisa bercerita soal situasi yang dihadapi.
  2. Keluar dari persoalan secara total: pada saat tidak bekerja seperti hari libur atau akhir pekan entrepreneur harus melepaskan semua pekerjaan dan tidak menerima laporan sehingga tubuh dapat kesegaran.
  3. Berkomunikasi dengan pekerja: entrepreneur harus mau membuka pintu dan berdiskusi dengan karyawan. Hubungan yang baik dengan karyawan akan membantu entrepreneur menghadapi persoalan yang dihadapi.
  4. Menemukan kepuasan di luar perusahaan: entrepreneur dapat melakukan kegiatan di luar perusahaan untuk mendapatkan kepuasan sehingga bisnis yang dikerjakan tidak menjadi persoalan.
  5. Pendelegasian: entrepreneur harus bisa mendelegasikan pekerjaan kepada karyawan dan pekerjaan tidak dipegang sendiri seluruhnya.
Baca Selengkapnya....

Jumat, Juli 02, 2010

STANDAR PEKERJA

Manajer operasional dapat menetapkan standar pekerja yang benar yaitu secara tepat dapat menentukan rata-rata waktu yang dibutuhkan seorang karyawan untuk melaksanakan aktivitas tertentu dalam kondisi kerja normal. Penetapan standar pekerja dapat menggunakan empat cara yaitu :

Pengalaman Masa Lalu (Work Sampling)
Standar pekerja dapat diestimasi berdasarkan apa yang telah terjadi di masa lalu yaitu berapa jam kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Cara ini memiliki kelebihan karena relatif mudah dan murah didapatkan. Standar seperti ini lazimnya didapatkan datanya dari kartu waktu pekerja atau dari data produksi. Akan tetapi kelemahannya adalah tidak obyektif dan tidak dapat diketahui keakuratannya apakah kecepatan kerjanya layak atau tidak, dan apakah kejadian yang tidak biasa sudah diperhitungkan atau belum. Oleh karena itu penggunaan teknik ini tidak dianjurkan maka tiga cara yang lain adalah yang dianjurkan.


Studi Waktu (Time Study)
Merupakan pencatatan waktu sebuah sampel kinerja pekerja dan menggunakannya sebagai dasar untuk menetapkan waktu standar. Adapun langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Definisikan pekerjaan yang akan diamati, (2) Bagilah pekerjaan menjadi elemen yang tepat, (3) Tentukan banyaknya pengamatan yang harus dillakukan (jumlah siklus atau sampel yang dibutuhkan), (4) Hitung waktu dan catat waktu elemen serta tingkat kinerja, (5) Hitung waktu siklus rata-rata yang disebut waktu siklus pengamatan rata-rata (average observed cycle time) yang merupakan rata-rata aritmatika dari waktu setiap elemen yang diukur, yang disesuaikan dari pengaruh yang tidak biasa untuk setiap elemen, (6) Tentukan tingkat kinerja dan kemudian hitung waktu normal (normal time) untuk tiap elemen, (7) Tambahkan waktu kinerja normal untuk setiap elemen untuk mendapatkan waktu normal total untuk pekerjaan tersebut, (8) Hitung waktu standar (standar time) dengan memperhitungkan kelonggaran seperti waktu untuk kebutuhan pribadi, keterlambatan, kelelahan.

Standar Waktu Yang Telah Ditentukan (Predetermined Time Study)
Merupakan suatu pembagian pekerjaan manual menjadi elemen dasar kecil yang waktunya telah ditetapkan dan dapat diterima secara luas. Caranya dengan menjumlahkan faktor waktu bagi setiap elemen dasar dari pekerjaan. Cara ini membutuhkan biaya yang besar. Metode yang paling umum adalah metode pengukuran waktu (MTM = Methods Time Measurement).
Standar waktu yang telah ditetapkan merupakan perkembangan dari gerakan dasar yang disebut sebagai Therblig yang ditemukan oleh Frank Gilbreth, yang mencakup aktifitas seperti memilih, mengambil, mengarahkan, merakit, menjangkau, memegang, beristirahat, meneliti. Standar waktu yang telah ditetapkan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan studi waktu yaitu: (1) Standar waktu dapat dibuat di laboratorium sehingga prosedur ini tidak mengganggu aktifitas sesungguhnya, (2) Karena standar dapat ditentukan sebelum pekerjaan benar-benar dilakukanmaka dapat digunakan untuk membuat rencana, (3) Tidak ada pemeringkatan kinerja yang dibutuhkan, (4) Serikat pekerja cenderung menerima metode ini sebagai cara yang wajar untuk menetapkan standar, (5) Standar waktu yang telah ditentukan biasanya efektif pada perusahaan yang melakukan sejumlah besar penelitian pada tugas yang sama.

Pengambilan Sampel Kerja
Metode ini dikembangkan di Inggris oleh L. Tipper pada tahun 1930. Pengambilan sampel kerja memperkirakan persentase waktu yang dihabiskan oleh seorang pekerja pada beragam pekerjaan. Hasilnya digunakan untuk menentukan bagaimana karyawan mengalokasikan waktu mereka diantara aktivitas yang beragam. Hal ini akan mendorong adanya perubahan karyawan, penugasan ulang, perkiraan biaya aktivitas dan kelonggaran keterlambatan bagi standar pekerja. Apabila pengambilan sampel ini untuk menetapkan kelonggaran keterlambatan, maka sering disebut penelitian rasio keterlambatan (ratio delay study).
Prosedur dalam metode ini ada lima langkah sebagai berikut: (1) Mengambil sampel awal untuk mendapatkan sebuah perkiraan nilai parameter seperti persentase waktu sibuk seorang pekerja, (2) Hitung ukuran sampel yang dibutuhkan, (3) Buat jadwal pengamatan pada waktu yang layak. Konsep angka acak digunakan untuk menapatkan pengamatan yang benar-benar acak, (4) Lakukan pengamatan dan catat aktivitas pekerja, (5) Tentukan bagaimana pekerja menghabiskan waktu mereka biasanya dalam persentase.
Fokus pada pengambilan sampel kerja adalah untuk menentukan bagaimana para pekerja mengalokasikan waktu mereka diantara beragam aktivitas yang dilakukannya. Hal ini dapat dicapai dengan menetapkan persentase waktu yang dihabiskan oleh seorang pekerja pada aktifitas yang ada pada sejumlah waktu tertentu. Seorang analis hanya mencatat aktivitas yang dilakukan secara acak.
Baca Selengkapnya....